Desa Wisata Bahari Kampung Payung-Payung adalah Desa Wisata yang terletak di wilayah Kecamatan Maratua Kabupaten Berau Kalimantan Timur yang terdiri dari 785 jumlah jiwa dan 236 jumlah Kepala Keluarga (KK) . Desa Wisata Payung-Payung memiliki potensi wisata yang sangat unik dan menarik seperti keindahan bawah laut (spot diving dan snorkeling), danau air asin, goa karst, culture serta produk-produk unggulan kampung.
Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan sumber daya alam dan berbagai potensi pariwisata. Maratua merupakan sebuah pulau terluar Indonesia dan berada di perairan Sulawesi yang berdekatan dengan perbatasan Filipina Selatan dan Sabah, Malaysia. Secara administrasi, Pulau Maratua masuk dalam wilayah Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur. Panorama alamnya yang indah dengan begitu banyak sumber daya laut yang dimiliki menjadikan Pulau Maratua sebagai salah satu destinasi pariwisata bahari di Indonesia.
Berdasarkan SK Bupati Berau pada tahun 1960 wilayah administrasi Pulau Maratua masuk dalam wilayah Kecamatan Pulau Derawan Kabupaten Berau. Pulau maratua merupakan pulau yang didiami oleh mayoritas masyarakat Suku Bajau. Suku Bajau adalah suku yang mendominasi penduduk Pulau Maratua dan merupakan suku bangsa yang berasal dari kepulauan Sulu, Filipina Selatan. Suku ini merupakan suku Nomaden yang hidup di atas laut, dan suku Bajau menggunakan bahasa Sama-Bajau.
*** Taba’ dan Tokke***
Jika berbicara tentang Maratua, maka kita akan sampai pada cerita tentang sosok tokoh masyarakat yang bernama Punggawa Taba. Punggawa Taba merupakan seorang prajurit dari Kesultanan Johor yang dipimpin oleh Sultan Abu Bakar Ibni Daeng Ibrahim (1862-1895 M) yang mendapat sebuah misi bersama dengan rekannya yang bernama Punggawa Tokke. Misi yang diemban oleh dua tokoh ini adalah untuk mencari sorang Putri dari Kesultanan Johor yang diduga tertangkap oleh pasukan dari kerajaan-kerjaan yang ada di sekitar wilayah Malaysia dan Filipina.
Taba dan Tokke dalam menjalankan misi pencarian ini, dilakukan selama bertahun-tahun, dari kesultanan satu menuju ke wilayah kesultanan lainnya didatangi untuk mencari tahu keberadaan sang putri kesultanan. Akan tetapi, hasil yang didapatkan nihil adanya. Sampai pada suatu berita, bahwa pasukan dari Kesultanan Suluk pernah menangkap seorang perempuan yang diduga berasal dari wilayah Kesultanan Johor. Mendengar kabar tersebut, 2 orang ini akhirnya berangkat menuju selatan tepatnya ke wilayah Kesultanan Suluk untuk mencari tahu kebenaran informasi tersebut.
Perlu diketahui bahwa, misi yang sedang diemban oleh kedua prajurit Kesultanan Johor ini memiliki syarat yang sangat penting yakni mereka berdua tidak boleh kembali ke kerajaan jika misi yang sedang dijalankan belum berhasil menemukan sang Putri.
Ketika Taba dan Tokke sampai di Kesultanan Suluk (Filipina Selatan), mereka berdua langsung menghadap ke Sultan yang pada saat itu, diperkirakan Kesultanan sedang dipimpin oleh Sultan Harun Al-Rashid (1886-1894 M). Hasil yang mereka dapatkan juga sama dengan usaha yang selama ini mereka lakukan. Keberadaan sang putri tidak sedang berada di Suluk. Akhirnya, Taba dan Tokke kembali harus mencari informasi lagi terkait keberadaan sang putri. Selama tinggal di wilayah Kesultanan Suluk, pada masa itu, terjadi sebuah bencana alam yang sedang melanda wilayah tersebut. Dari berbagai informasi yang berhasil didapatkan, ada beberapa referensi yang mengatakan berbeda bahwa peristiwa tersebut merupakan peristiwa banjir bandang, tsunami dan angin topan. Keluarlah perintah dari sultan untuk seluruh rakyatnya tak terkecuali tawanan kerajaan untuk segera menyelamatkan diri dengan pergi ke wilayah yang lebih tinggi atau gunung. Pada saat proses evakuasi yang sedang dilakukan oleh kesultanan, ada sebuah benda pusaka kesultanan (Bedil/lantaka) yang mesti diselamatkan dari peristiwa banjir bandang tersebut. Maka diperintahkanlah kepada seluruh rakyat berikut dengan pasukan kerajaan untuk memprioritaskan pusaka tersebut diamankan terlebih dahulu. Akan tetapi, tidak seorangpun yang memiliki kekuatan yang cukup untuk memindahkan pusaka tersebut menuju tempat yang lebih aman. Benda pusaka tersebut, diyakini memiliki kekuatan supranatural sehingga tidak sembarang orang yang mampu menggunakan benda tersebut. Pada saat itu, hanya ada satu orang yang memiliki kekuatan (supranatural) untuk mampu menggerakkan benda pusaka tersebut sehingga amanlah pusaka tersebut dari ancaman bencana alam. Aksi orang tersebut mengambil perhatian Sang Sultan. Sebagai bentuk rasa terimakasih Sang Sultan, orang tersebut diberikan kesempatan untuk menyebutkan permintaannya dan akan dikabulkan oleh Sang Sultan. Alkisah, ternyata orang tersebut merupakan seorang tawanan kerajaan serta merupakan seorang yang berasal dari Tanah Kulan. Usut punya usut ternyata ia salah seorang anggota keluarga dari Kesultanan Gunung Tabur yang tak lain merupakan anggota keluarga dari Sultan Hasanuddin II (Hasanuddin I Gunung Tabur-Maharaja Dendah II bin Amiruddin). Permintaan orang tersebut kepada Sultan pada saat itu adalah untuk dilepaskan sebagai tawanan kerajaan dan diijinkan pulang ke negrinya yakni Tanah Kulan (Kesultanan Gunung Tabur). Maka dikabulkanlah permintaan tersebut oleh Sang Sultan. Karena perjalanan pulang terlalu jauh dan berbahaya, maka Sang Sultan meminta kepada Taba dan Tokke untuk menemani atau mengawal orang tersebut agar selamat sampai di Kesultanan Gunung Tabur. Mendapatkan permintaan tersebut dari sang sultan, Taba dan Tokke akhirnya mau menerima permintaan tersebut dengan harapan, mereka bisa mendapatkan informasi lagi mengenai keberadaan Sang Putri di wilayah Tanah Kulan. Maka berangkatlah Taba dan Tokke bersama dengan orang tersebut ini dari wilayah Filipina menuju ke Pulau Kalimantan tepatnya di wilayah kekuasaan Kesultanan Gunung Tabur.
Sesampainya mereka di Kesultanan Gunung Tabur, rasa bahagia Sang Sultan tak terkirakan karena kepulangan salah seorang anggota kesultanan. Tak terkecuali Taba dan Tokke, Sang Sultan akan mengabulkan permintaan 2 orang ini karena telah berjasa dalam mengantar pulang sang keluarga kesultanan dengan selamat. Permintaan Taba dan Tokke kepada sang sultan adalah mempertanyakan terkait informasi mengenai keberadaan Sang Putri Kesultanan Johor, akan tetapi, Sang Sultan pun tidak mengetahui informasi tersebut. Jadi, sudah dapat dipastikan bahwa Kesultanan Gunung Tabur juga tidak menculik atau mengetahui keberadaan Sang Putri. Permintaan selanjutnya oleh Taba dan Tokke adalah mereka bedua meminta izin untuk tinggal sementara waktu di wilayah Kesultanan Gunung Tabur guna mencari informasi mengenai keberadaan Sang Putri. Harapannya, Taba dan Tokke dapat mengetahui atau mendapat informasi dari masyarakat Gunung Tabur. Permintaan tersebut dikabulkan dan diberikan rekomendasi dari sultan untuk tinggal di wilayah selatan, tepatnya di Tanjung Buaya-Buaya. Rekomendasi tersebut tak lain karena wilayah tersebut diketahui memang dihuni oleh orang-orang yang berasal dari wilayah utara atau mereka yang tinggal di Tanjung Buaya-Buaya mayoritas beretnis Bajau, sehingga untuk mendapatkan informasi secaman itu, lebih mudah. Versi yang berbeda, Taba dan Tokke mendapatkan hadiah oleh sang sultan karena telah mengantar anggota kesultanan dengan selamat kembali dengan memberikan wilayah atau tanah untuk dihuni di wilayah selatan (Tanjung Buaya-Buaya-saat ini masuk wilayah administrasi Batu Putih).
***Punggawa Taba’***
Tidak lama berselang, informasi mengenai keberadaan Sang Putri tak kunjung didapati oleh Taba dan Tokke. Disisi lain, peristiwa yang sering membuat resah rakyat Kesultanan Gunung Tabur adalah seringnya terjadi perampokan oleh para Bajak Laut yang diidentifikasi, sebagian beranggapan bahwa Bajak Laut ini berasal dari Pulau Sulawesi yakni dari suku Bugis Iradang Panjang Susu, sebagian versi atau menurut buku dari M. Adnan Amal “Kepulauan Rempah-Rempah Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950)”, memverifikasi peristiwa tersebut dengan menulis bahwa “…sepanjang abad ke-19 di Perairan Indonesia Timur, khususnya di perairan selat Makassar sampai di Maluku dan Kepulauan Ambon, aksi-aksi perompakan yang melibatkan orang Tobelo dan Galela sedang marak. Para bajak laut ini, menurut sejarah berasal dari daratan Halmahera Utara dan Mindanao dan Sulu Filipina Selatan”. Oleh karena itu, diperitahkanlah Taba dan Tokke ini untuk menjaga wilayah Utara dan Selatan daerah kekuasaan Kesultanan Gunung Tabur dari ancaman penjarahan dan perampokan Bajak Laut.
Karena Taba dan Tokke masih berada di wilayah Kesultanan Gunung Tabur, sang sultan memiliki ide untuk memberikan tugas kepada kedua orang ini. Pemilihan kedua orang ini terhadap tugas yang akan mereka emban, dikarenakan sang Sultan mengetahui bahwa kedua orang tersebut merupakan orang yang berbangsa Bajau, dengan karakteristik pelautnya mereka berdua diharapkan mampu menjaga wilayah Kesultanan Gunung Tabur di wilayah perairan/kelautan. Selain itu, tugas yang selama ini tak kunjung mampu diselesaikan atau ditunaikan oleh kedua orang ini, menghalangi mereka untuk pulang ke negerinya sendiri yakni wilayah Kesultanan Johor. Akhirnya mereka berdua (Taba dan Tokke) menerima tawaran sultan tersebut.
Untuk wilayah Selatan, mulai dari Batul Belobang landas sampai ke Karangan Besar di aut Talisayan, menjurus lagi ke Pulau Mataha, Pulau Bilang-Bilangan serta Bali Kukup, diserahkan kepemerintahannya kepada Tokke. Sementara di wilayah Utara, Taba akan memerintah di wilayah Malalingkit sampai Karang Malalungun menjurus ke Pulau Sambit, Pulau Balambangan, Pulau Sangalaki, Pulau Maratua dan pulau yang berada di sekitaran Derawan. Pada saat inilah Taba dan Tokke mendapatkan gelar Punggawa (gelar untuk seorang pengurus lokal-penguasa sebuah distrik yang tunduk pada raja/sultan). Pada saat itulah, kedua orang ini dikenal dengan nama Punggawa Taba dan Punggawa Tokke.
Setelah menerima tugas atau titah dari Sang Sultan, maka berangkatlah kedua orang ini meninggalkan Tanjung Buaya-Buaya menuju wilayah mereka masing-masing. Beberapa versi yang ditemukan adalah Punggawa Taba pertama kali bermukim di Pulau Panjang. Karena kesulitan air bersih, maka Punggawa Taba pindah ke Pulau Derawan, karena disitu ada sumber mata air yang dapat digunakan sebagai kebutuhan sehari-hari. Versi lainnya adalah, bahwa tempat permukiman pertama Punggawa Taba adalah Pulau Derawan. Karena Pulau Derawan, selain sudah berpenduduk, disitu juga ada sumber mata air yang biasa digunakan oleh masyarakat setempat. Mengenai tempat bermukim pertama Punggawa Taba, versi kedua cukup memungkinkan terjadi karena pada saat Punggawa Taba mengemban tugas ini, Pulau Panjang pada masa tersebut (Zaman Kolonial) sudah dibebani dengan izin konsesi perkebunan kelapa yang di izinnya dipegang oleh Tuan Puri. Sehingga kurang memungkingkan jika Punggawa Taba tinggal di tanah yang sudah berizin atau sedang dikelola oleh pihak lain. Punggawa Taba diperkirakan mendapatkan titah sultan ini pada tahun 1900. Jadi kedatangan Punggawa Taba di Pulau Derawan dipastikan terjadi pada tahun tersebut.
Punggawa Taba yang tinggal di Pulau Derawan bersama dengan warga yang bermukim disana sebelumnya. Pada saat itulah, Punggawa Taba memanggil sanak saudaranya berikut dengan orangtuanya dari johor. Kecuali seorang saudara perempuan Taba yang tidak datang yakni Salamah yang tinggal di Pulau Dennawan, Samporna Malaysia. Punggawa Taba dan warganya mengusahakan budidaya Kelapa dan bernelayan, pohon kelapa tumbuh subur dan nelayan pada saat itu selalu mendapatkan tangkapan laut yang sangat melimpah. Kelapa digunakan untuk menjadi bahan olahan seperti kopra dan menjadi minyak, sedangkan hasil tangkapan laut untuk konsumsi keluarga dan diperjualbelikan. Punggawa Taba dalam memimpin wilayah Selatan Kesultanan Gunung Tabur, terhitung hanya sampai 10 tahun kepemimpinan sebelum akhirnya Taba dicopot gelar Punggawanya.
Pada masa kepemimpinan Punggawa Taba di Pulau Derawan, pada saat itu juga nusantara masih dalam penjajahan kolonial Belanda. Ada sebuah peristiwa yang memicu terjadinya konflik antara Punggawa Taba dan Tuan Puri. Konflik tersebut adalah permintaan Tuan Puri untuk dibangunkan sebuah benteng (Dermaga) supaya akses pengangkutan hasil perkebunan menjadi lebih lancar. Akan tetapi, permintaan pembangunan tersebut cukup besar membutuhkan anggaran, sehingga permintaan tersebut akhirnya ditolak oleh Punggawa Taba. Penolakan pembangunan dermaga tersebut ternyata membuat ketersinggungan untuk Tuan Puri, sehingga ada usaha dari pihak Belanda (dalam hal ini dipengaruhi oleh dendam pribadi Tuan Puri) untuk mengintervensi wilayah kekuasaan Kesultanan Gunung Tabur dengan menurunkan Punggawa Taba dari posisi jabatan. Usaha tersebut berhasil dilakukan untuk menurunkan si Taba dari jabatan Punggawa kesultanan. Pencopotan gelar/posisi tersebut menyebabkan Kepulauan Derawan mengalami kekosongan pemimpin.
*** Mella’ Tua=MARATUA ***
(Pergeseran konsonan fonem Mella’ menjadi “Mara” akibat perubahan sastra bahasa daerah)
Semasa kepemimpinan Punggawa Taba di wilayah Selatan, ada sebuah pulau di wilayah bagian timur Pulau Derawan yang memiliki keanekaragaman laut dan daratannya yang ditumbuhi pepohonan yang cocok membuat perahu, pulau ini dikenal sebagai pulau Mella’ Tua (Masak Tuba). Sekitaran pulau inipun sebenarnya sering di datangi oleh nelayan-nelayan yang berasal dari daerah utara yakni Kepulauan Derawan dan nelayan dari wilayah selatan yakni dari Batu Putih dan Talisayan bahkan dari wilayah Timur untuk memancing ikan.
Beberapa versi masyarakat mengenai kependudukan pertama di pulau ini, ada yang meyakini bahwa masyarakat pertama di pulau ini adalah ketika Punggawa Taba datang dari Pulau Derawan membawa sanak familynya, adapula yang meyakini bahwa pulau Maratua jauh sebelum Punggawa Taba datang ke Pulau Maratua, Pulau ini sudah dihuni oleh manusia. Pada saat sejarah ini dituangkan dalam tulisan, penyusun mengambil inisiatif untuk menceritakan kisah Maratua, memang sudah berpenghuni jauh sebelum Punggawa Taba datang ke Maratua. Hal ini dapat kita lihat dari runutan tahun kedatangan Punggawa Taba dengan peninggalan bekas-bekas aktivitas masyarakat jaman dahulu yang diperkirakan ada yang sudah berusia ratusan tahun. Akan tetapi, manusia pertama di Pulau Maratua, masih dipertanyakan asal usul kedatangannya dari mana. Beberapa versi masyarakat mengatakan bahwa orang pertama berasal dari wilayah Samporna, Malaysia. Adapula yang mengatakan bahwa manusia pertama datang dari wilayah Suluk, Filipina Selatan. Kedua pernyataan sebelumnya, masing-masing meyakini bahwa mereka orang pertama berasal dari suku Bajau.
Penduduk Maratua sendiri hidup dengan memanfaatkan keanekaragaman hasil laut dengan melakukan aktivitas bernelayan tangkap. Sedangka untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat, masyarakat biasanya menanam umbi-umbian seperti singkong, ada juga yang menanam Pisang, Kelapa dan tanaman buah-buahan lainnya.
Di tengah keharmonisan hidup yang berjalan di daratan Pulau Maratua, kerapkali pulau ini didatangi oleh perampok/bajak laut dari wilayah Utara yakni dari daratan Filipina khususnya dari Pulau Balangingi. Balangingi menjadi sebuah legenda tentang keganasan orang yang datang dari laut di waktu menjelang berakhirnya musim angin utara atau masuk dalam waktu angin selatan (musim teduh) yang konon katanya doyan makan daging manusia. Balangingi juga dianggap penculik yang piawai sehingga kerap dipergunakan untuk menakut-nakuti anak-anak yang suka keluyuran menjelang waktu petang tiba.
Dalam versi menurut Nawir, S.Pd,. salah seorang masyarakat Bohe Silian, menyatakan bahwa Pulau Maratua dulu banyak dihuni oleh sosok mahluk halus yang bernama Balangingi. Penampakan Balangingi kerap ditandai dengan mendengar suara Kokok, jika terdengar suara tersebut, berarti Balangingi sedang akan menampakkan wujud aslinya (Balangingi=Kokok).
Balangingi dan Kokok, merupakan objek sejarah Maratua yang cukup vital untuk diketahui, karena kedudukan dua objek ini menjadi cikal bakal pemberian nama terhadap Pulau Maratua sendiri.
Setelah mencari beberapa literatur terkait Balangingi dan Kokok, baik di masyarakat setempat maupun berselancer di Internet, diketahui bahwa 2 objek ini merupakan hal yang berbeda. Balangingi merupakan sebuah nama pulau kecil yang berada di wilayah Filipina Selatan, yang kerap digunakan oleh para bajak laut berkumpul dan sebagian menempatinya untuk hidup. Sedangkan sosok Kokok merupakan cerita hantu di masa lampau yang berasal dari wilayah Samporna, Sabah Malaysia, untuk menakut-nakuti anak-anak yang suka berkeluyuran di waktu petang.
Berdasarkan temuan yang dilakukan oleh penyusun, Balangingi dan Kokok merupakan sebuah objek yang sama dalam pengertian namun diceritakan menggunakan dua versi bahasa penyampaian yang berbeda. Balangingi merupakan sosok bajak laut yang menyeramkan bagi penduduk setempat, sedangkan Sosok merupakan hantu versi masyarakat yang disusun berdasarkan pengalaman mereka menghadapi Balangingi untuk mengingatkan keturunannya terkait kebengisannya sosok Balangingi.
Dengan demikian, peristiwa perompakan oleh Bajak Laut di pulau Maratua memang sudah sering terjadi di masa lampau. Berdasarkan informasi yang didapatkan dari Kaprawi, salah seorang warga dari Teluk Alulu menuturkan bahwa Balangingi selalu datang setiap menjelang musim angin Utara berakhir, atau pada saat musim angin Selatan mulai datang (musim teduh). Mereka datang dengan tombak, parang dan benda-benda tajam lainnya untuk mengintimidasi warga Maratua jika mereka datang. Mereka (Balangingi) kerap merampas harta benda masyarakat, anak-anak dan bahkan isteri para nelayan. Anak-anak dan isteri-isteri yang diambil dari hasil perampasan akan dijual sebagai budak nantinya.
Masyarakat yang sudah geram diperlakukan seperti itu, banyak yang sudah berinisiatif untuk menanggulangi peristiwa tersebut. Cerita yang melegenda atau terkenal adalah dengan Mella’ Tuba (memasak tuba). Memasak Tuba sendiri memiliki dua versi cerita yang berbeda, yakni;
Penyusun dalam melihat dua versi cerita masyarakat terkait Mella’ Tua, berpendapat dalam versi perlawanan masyarakat Maratua, bahwa masak tuba ini merupakan bentuk perlawanan masyarakat Maratua terhadap kedatangan Balangingi di musim angin teduh.
Selain itu, hal demikian dapat kita buktikan dengan adanya kuburan keramat di wilayah Teluk Alulu yang dipercaya oleh masyarakat setempat bahwa itu adalah kuburan Balangingi. Isi daripada kuburan tersebut diyakini bahwa itu adalah mayat dari salah seorang Bajak Laut dari Pulau Balangingi, Filipina Selatan.
Cerita inilah yang menjadi cikal bakal penamaan Pulau Maratua dari Mella’ Tua menjadi Maratua. Pergesaran kata Mella’ menjadi “Mara” dalam nama pulau merupakan akibat dari pergeseran atau perubahan fonem dalam sastra bahasa masyarakat setempat. Sehingga dikenallah pulau ini dengan sebutan “Maratua”.
***Maratua dan Punggawa Taba***
Cerita kembali ke masa Kesultanan Gunung Tabur. Salah satu dampak dari konflik antara Tuan Puri dan Punggawa Taba di Derawan yang menyebabkan dicopotnya gelar ke-Punggawa-an oleh Kesultanan Gunung Tabur dari Taba. Pencopotan gelar ini ternyata menyebabkan keresahan hati/kekecewaan untuk Taba. Akhirnya untuk meluapkan keresahan tersebut Taba akhirnya meninggalkan Pulau Derawan untuk menuju wilaya Timur tepatnya ke Pulau Maratua.
Pulau Maratua menjadi opsi pertama hijrahnya Taba dari Pulau Derawan karena pulau tersebut memiliki karakteristik yang hampir bahkan melebihi potensi yang ada di Pulau Derawan. Sebelumnya, pada masa kepemimpinan Punggawa Taba di Pulau Derawan, beberapa kali Taba sudah pernah berkunjung ke Pulau Maratua, selain untuk memancing ikan juga untuk menjaga wilayah tersebut dari penjarahan para bajak laut yang dahulunya sering dijadikan target penjarahan bajak laut dari wilayah Utara.
Kedatangan Punggawa Taba untuk menetap di Pulau Maratua, diperkirakan terjadi pada tahun 1900 atau 1908 M. Kedatangan Punggawa Taba ke Maratua membawa keluarga dan koleganya dari Pulau Derawan. Daerah pertama di datangi adalah di wilayah Langauan. Berdasarkan cerita sebelumnya, kedatangan Punggawa Taba ke Maratua, sebenarnya pulau tidak dalam keadaan tak berpenduduk, melainkan sudah ada penduduk yang tinggal di Maratua. Langauan diperkirakan menjadi opsi pertama karena diwilayah tersebut sudah banyak masyarakat. Akan tetapi, karena wilayah tersebut memiliki karakteristik berbatu dan berpasir, sehingga kesulitan untuk menanam tanaman untuk kebutuhan karnohidrat, akhirnya mereka berpindah ke wilayah yang memiliki potensi untuk menanam. Dipilihlah wilayah Buli Lo’ok, karena di wilayah tersebut memiliki karateristik tanah yang cukup subur untuk menanam umbi-umbian dan kelapa tentunya.
Hanya mampu bertahan satu tahun, dikarenakan sumber mata air yang sangat sulit di Buli Lo’ok, mereka akhirnya dipaksa untuk mencari wilayah lainnya yang tetap memiliki tanah yang subur kendati kebutuhan air bersih tetap ada.
Punggawa Taba akhirnya menempati wilayah daerah bait-bait. Bait-bait merupakan sejenis tanaman pohon atau tumbuhan yang diberikan nama lokal oleh masyarakat. Wilayah tersebut diberikan nama seperti itu, karena wilayah tersebut memiliki jenis tanaman Bait-Bait yang cukup banyak, sehingga diberikanlah nama daerah tersebut dengan nama Bait-Bait.
Pada saat Punggawa Taba berada di wilayah Bait-Bait untuk bermukim, salah satu hal utama yang diprioritaskan adalah mencari sumber mata air. Pencarian sumber mata air yang dilakukan dengan menggali sumur-sumur. Pada saat pencarian sumber mata air tersebut, mata air pertama kali ditemukan oleh seorang warga yang bernama Silian. Akhirnya wilayah baru yang ditempati oleh Punggawa Taba beserta masyarakat setempat dapat hidup berkelanjutan karena keradaan sumber air bersih sudah ditemukan.
Sampai saat ini sumur tersebut masih digunakan oleh masyarakat setempat untuk kebutuhan Mandi, Cuci dan Kakus masyarakat. Berkat penemu sumur ini, wilayah Bait-Bait akhirnya diberikan nama resmi menjadi Bohe Silian (Sumur Silian) dan menjadi nama kampung yakni Kampung Bohe Silian.
Setelah kampung pertama diakui secara hukum oleh Pemerintah Daerah yakni Kampung Bohe Silian, selanjutnya Kampung Teluk Alulu menyusul menjadi kampung kedua. Pemimpin pertama di Kampung Teluk Alulu adalah Punggawa Kiammas (Gumbil). Berikut daftar nama pemimpin selama masa pembangunan wilayah di Pulau Maratua, berdasarkan penggalian sejarah yang berhasil diidentifikasi:
Daftar nama di atas merupakan nama-nama pemimpin yang pernah menjadi kepala kampung di masa pemekaran wilayah di Pulau Maratua.
***Kampung Payung-Payung***
Hingga saat ini (2022), Pulau Maratua sudah memiliki 4 (empat) wilayah administrasi kampung yakni Kampung Bohe Silian, Kampung Teluk Alulu, Kampung Payung-Payung dan Kampung Teluk Harapan (Bohe Bukut). Sedangkan Kampung Payung-Payung sendiri merupakan kampung yang mekar dari Kampung Bohe Silian pada tahun 1960. Berdasarkan informasi yang ada, permukiman wilayah Payung-Payung sudah ada sejak tahun 1933. Asal muasal nama kampung “Payung-Payung” diambil dari penampakan batu karang yang berada di pinggir pantai Kampung Payung-Payung yang memiliki bentuk menyerupai “Payung”. Sebelum pemekaran dilakukan, sebelumnya masyarakat sudah bermukim dan melakukan rutinitas perkebunan kelapa untuk diolah menjadi minyak serta menanam umbi-umbian untuk kebutuhan pangan keluarga dan aktivitas nelayan untuk memnuhi kebutuhan lauk keluarga serta untuk diperjualbelikan dalam bentuk hasil olahan sejak tahun 1930.
Pada saat terjadi pemekaran dari Kampung bohe Silian, Kampung Payung-Payung memiliki batas wilayah mulai dari wilayah Tong Duata menghadap laut lepas sampai wilayah Pelabuhan Wika, sedangkan di darat berbatasan dengan Tanah Bamban sampai depan Tong Duata. Inilah yang menjadi batas wilayah kampung payung-payung pada saat pertama kali dimekarakan oleh Punggawa Kuride sebagai Kepala Kampung di Bohe Silian (1955-1962). Pemekaran Kampung Payung-Payung dilakukan karena pertumbuhan penduduk dan aktivitas masyarakat yang sudah berkembang dengan pesat sehingga dianggap perlu dilakukan pemekaran untuk wilayah Payung-Payung.
Kampung Payung-Payung pertama kali dipimpin oleh Kepala Kampung yang bernama TEMPEL (1960-1985) setelah melalui pemilihan Kepala Kampung antara Tempel dengan rekannya yang bernama Terang. Pada saat kepemimpinan Tempel, diketahui penduduk Kampung Payung-Payung berjumlah 35 Kepala Keluarga dengan jumlah ±150 jiwa.
Pada tahun 1973, warga yang berasal dari wilayah Buli Lo’ok untuk berbondong-bondong untuk tinggal bermukim sementara di wilayah Bohe Bukut yang merupakan wilayah Kampung Payung-Payung. Perpindahan ini dipicu karena kelompok-kelompok tersebut memiliki kegiatan atau proyek pembuatan Kapal atau Perahu yang berasal dari permintaan warga nelayan dari Berau, Tarakan dan Samarinda. Bohe Bukut merupakan wilayah yang memiliki bahan baku pembuatan perahu yang baik seperti pohon/kayu. Selain itu, wilayah Bohe Bukut juga memiliki persediaan air bersih yang cukup sehingga mereka membuat pondok di Bohe Bukut.
Karena pada saat itu yakni tahun >1974 masyarakat yang menuju ke wilayah Bohe Bukut merupakan warga yang berasal dari Kampung Teluk Harapan, pemimpin Teluk Harapan dalam hal ini Haji Banjar, membuat kesepakatan sementara dengan Tempel (Kepala Kampung Payung-Payung) untuk bermukim sementara di wilayah Bohe Bukut. Kesepakatan itupun dibuat atas nama kedua pemimpin kampung. Sebenarnya, berdasarkan sejarah di Pulau Maratua, wilayah Langauan (Bohe Bukut) dulunya merupakan salah satu wilayah permukiman warga Pulau Maratua sebelum akhirnya dimiliki oleh Saudagar China yakni Tan Bung Liong kemudian menjadi wilayah konsesi perkebunan.
Pondok-pondok masyarakat pada awal dibangun di bawah pohon kelapa milik Tan Bung Liong, warga yang berasal dari wilayah Buli Lo’ok yang datang bermukim di Bohe Bukut diberikan izin oleh Kepala Kampung Payung-Payung dan Tan Bung Liong selama proses pembangunan pondok tersebut tidak menebang Pohon Kelapa yang sudah produktif berbuah.
Akan tetapi, di masa kepresidenan Suharto, tepatnya di tahun 1993, Pemerintah dalam hal ini pusat mengusung program bantuan langsung tunai ke desa-desa yang memiliki indeks pembangunan yang masih tertinggal dengan judul program Inpres Desa Tertinggal (IDT).
Melalui program IDT ini, masyarakat di wilayah Bohe Bukut berinisiatif menetap di wilayah tersebut. Keinginan tersebut disambut baik oleh pemegang konsesi dengan syarat harus dibeli lahan tersebut kembali. Oleh karena itu, dana IDT yang diterima oleh Kampung Teluk Harapan yang seharusnya digunakan untuk membangun kampung dialokasikan untuk membeli lahan pemukiman di wilayah Bohe Bukut.