Aspek-aspek kehidupan masyarakat Kampung Tenro dan lingkungannya terintegrasi menjadi mekanisme adaptif. Agar tetap dapat mempertahankan hidupnya, maka masyarakatnya harus selalu menjaga hubungan adaptasi pada ruang lingkup ekosistemnya. Kebudayaan sebagai sistem budaya merupakan seperangkat gagasan-gagasan yang membentuk tingkah laku seseorang atau kelompok dalam suatu ekosistem. Konsepsi adaptasi ini pada umumnya mengacu pada proses interaksi antara perubahan ditimbulkan oleh lingkungan. Dengan kebudayaannya, untuk jangka waktu panjang yang telah dijalaninya, masyarakat Kampung Tenro tetap survival karena mampu melakukan proses penyesuaian timbal-balik melalui tradisitradisi kulturalnya.
Desa Bontolempangan memiliki beragam tradisi nenek moyang yang menjadi salah satu atraksi yang menandakan identitas masyarakatnya. Beragam tradisi yang memiliki warisan budaya tersebut diantara lain; Sejarah Lisan Epos Dellempandan dan Sejarah Kampung Tua, Tradisi A’dinging-dinging, Tradisi Didek. Tradisi Ambelu, Tradisi A’tojeng, Tradisi A’malang, dan Tradisi A’rera serta beberapa budaya yang masih tetap dilestarikan Kesemua tradisi ini menggambarkan tentang kekayaan masyarakat Bontolempangan menjaga dan Melestarikan Budaya.
Proses tradisi Addinging-dinging ini berlangsung sangat meriah setiap tahunnya karena dihadiri bukan hanya dari masyarakat Tenro saja namun juga dari Masyarakat dari luar kampung yang dengan sengaja datang dengantujuan untuk melihat secara langsung jalannya proses ritual A’dinging-dinging.
Pada tradisi ini, ada beberapa tahapan prosesi yang dilakukan dan disuguhkan antara lain: Songkabala (rite tolak bala) yang dilaksanakan pada tanggal 10 Muharram atau malam ke 10 dalam bulan Muharram. Songkabala ini bertujuan sebagai doa dan harapan masyarakat agar terhindar dari bahaya atau musibah yang menimpa kampung Tenro. Pada prosesi Songkabala ini juga, masyarakat akan berkumpul dan bersama-sama membicarakan tentang pelaksanaan A’dinging-dinging. Setelah mencapai kesepakatan, mulailah pelaksanaan prosesi budaya di hari Jumat hingga hari Senin di minggu terakhir Bulan Muharram. Ketetapan waktu pelaksanaan ditentukan oleh seseorang yang berperan sebagai sakti;satti’. Pada Hari Jumat, tepatnya di sore hari, para pelaku Budaya akan melakukan tahapan Anrajo-rajo. Pada tahapan ini, masyarakat akan berziarah di makam leluhur dengan membawa beberapa kelengkapan ritual berupa Bunga Taju Karaeng dan Anjoro (gogo). Prosesi ini akan dipimpin oleh satti’
yang akan membawa perlengkapan rite Anrajo-rajo tersebut ke makam leluhur dan menaruhnya di tempat yang telah tersedia.Pada Prosesi ini akan berlangsung hinggapada hari minggu, dimana tahapan
selanjutnya adalah prosesi mengambil airdari sumur Letea (angalle je’ne ribuhung).Pada Tahap ini,beberapa orang akan terlibat untuk mengambil air di sumur Letea, yaitu 7 orang perempuan, 2 orang yang pembawa dupa, dan 1 orang Satti’. Semua yang terlibat, akan berjalan kurang lebih 1 Km dan
dilarang untuk berbicara selama prosesi ini berlangsung. Prosesi ini juga akan diiringi dengan lantunan suara musik gandrang yang dimainkan oleh beberapa orang anak. Setelah Prosesi pengambilan air di sumur Letea, kendi tersebut akan dibawa ke rumah satti’ atau rumah dari tokoh masyarakat desa untuk melakukan prosesi A’bua je’ne.
Prosesi A’bua je’ne dilakukan pada Malam Senin, yang dipimpin oleh satti’ untuk memberikan baca-baca atau memberi mantra pada kendi yang berisi air. Beberapa orang akan terlibat pada prosesi ini, diantaranya Satti’, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan pemerintah desa. Perlengkapan yang disediakan pada a’bua je’ne berupa Dupa dan Bente padi, 3 lembar daun sirih, Kendi yang berisi air, lilin, dan gogou. Semua yang terlibat akan duduk bersama dalam bentuk lingkaran dan satti’ berada di tengah. Selanjutnya, setelah satti merasa sudah selesai pada prosesi ini, para pelaku yang terlibat akan melakukan prosesi aminro, atau berkeliling di tempat dilaksanakannya a’bua je’ne. Ke-esokan harinya, tepatnya hari Senin, dilaksanakanlah inti dari tradisi A’dingingdinging yaitu tahapan anrio-rio. Pada prosesi ini, masyarakat tenro bersuka ria, bermandikan air yang telah diberi mantra tersebut. Tradisi Addinging-dinging bagi masyarakat Kampung Tenro, Desa Bontolempangan menjadi suatu kewajiban tradisional yang memberi jaminan psikologis dan rasa aman bagi ketersediaan sumber air, maupun dalam rangka membangun kehidupan dalam bermasyarakart. Hal ini menggambarkan bahwa Masyarakat Tenro secara kultural, mampu mengatasi keterbatasan air bersih dan beradaptasi dengan sumber daya lingkungan yang ada.
2. Tradisi Attojeng
A’tojeng merupakan salah satu permainan tradisional orang Selayar yang sampai saat ini masih sering terlihat dan dilestarikan oleh masyarakat Selayar. A’tojeng yang dalam Bahasa Selayar berarti Berayun adalah permainan ayunan yang hamper sama dengan permainan berayun yang dikenal banyak orang, hanya saja, pada permainan A’tojeng ini, ayunan yang digunakan adalah ayunan raksasa yang dapat
mencapai tinggi mencapai 9 meter. Dulunya, Atraksi Budaya melalui permainan tradisional A’tojeng
menyiratkan tentang nilai sukacita menyambut Raja dan para pasukannya yang pulang dari medan perang, dan sampai saat ini, nilai sukacita tersebut terjaga dalam tradisi masyarakat Desa Bontolempangan Aturan permainan A’tojeng cukup sederhana, permainan ini dimainkan oleh 2 orang perempuan dan 2 laki-laki, dimana 2 orang perempuan akan duduk di ayunan bambu, dan 2 orang laki-laki yang nantinya akan mendorong ayunan tersebut. Bahan Untuk membuat ayunan berupa, beberapa bambu yang nantinya akan diikat menjadi satu. Ayunan ini tidak menggunakan tali atau rantai yang dijadikan pegagangan, tapi semua bahan ayunan semua terbuat dari bambu. Untuk memperkuat ayunannya, akar kayu atau tumbuhan merambat yang digunakan untuk mengikat atau menyambungkan
setiap bambu.
3. Tradisi Adidek
Kesenian Tradisional A’didek, merupakan salah satu tradisi lisan yang sampai saat ini juga masih dapat kita saksikan. Kesenian A’didek biasanya dipertunjukan pada upacara pesta panen, Perayaan Kelahiran atau pesta perkawinan. A’didek merupakan kesenian tradisi lisan dalam bentuk nyanyian berbalas
antara kelompok laki-laki dan kelompok perempuan. Kata Didek dalam bahasa Selayar berarti kegembiraan; ungkapan rasa gembira, rasa senang, dan rasa bahagia. Dalam pertunjukannya, A’didek,
disajikan dalam bentuk nyayian yang berisi pantun yang biasa struktur teks ucapannya lebih mengarah pada diksi yang disusun secara spontan oleh pelaku atau padideknya. Kesenian Tradisional A’didek
mengemban fungsi kontekstual yang disesuaikan dengan Lantunan syair pantun yang diucapkan berisi tentang tatanan sosial kehidupan, pendidikan, kontrol sosial, empati, kebahagiaan, kejujuran, kasih sayang, saling menghargai, saling mengingatkan, dan faslsafah hidup. A’didek selalu dimulai pertunjukannya dalam bentuk kelong, dimana kata kelong yang diucapkan pada awal tutur
padidek menandakan dimulainya alur nyanyian berbalasan pantun. A’didek sendiri masih menjadi salah satu tradisi yang selalu disuguhkan oleh masyarakat desa Bontolempangan dalam semua acara perayaan yang diselenggarakan tiap tahunnya. Tentunya, pertunjukan A’didek menjadi salah satu tontonan yang menarik bagi semua orang dan yang paling penting, kesenian A’didek sampai saat ini masih dilestarikan dan dijaga nilai budayanya.
4. Tradisi A'malang
A’malang merupakan Tradisi Perayaan bagi masyarakat Desa Bontolempangan untuk menyambut Hari Raya Idul Fitri. Perayaan ini dilakukan tiap tahunnya, dan dimana A’malang akan dimulai pada hari ke-27
Bulan Ramadhan atau 3 hari sebelum Hari Raya Idul Fitri. Tradisi ini sarat akan kepercayaan masyarakat Bontolempangan, sebagai tradisi yang menggambarkan tentang “Cahaya Kegembiraan” yang menuntun
spritualitas masyarakat Tenro selama Bulan Ramadhan menuju hari kemenangan (Idul Fitri). Menurut Tokoh Masyarakat di Desa Bontolempangan, dulunya, A’malang untuk menyinari kampong selama 3 hari 3 malam demi menyambut Hari Raya Idul Fitri. Ia menambahkan, karena dulunya, penerangan lsitrik belum ada, masyarakat menggunakan tempurung kelapa, Batang Pisang [Bagian Bawah Pohon], dan Kulit Jagung sebagai alat penerangan pada saat itu. Untuk membuat alat penerangan/obor, tempurung kelapa akan disusun dengan tinggi susunannya kurang lebih 1 meter menjulang ke atas, pada bagian tengah tempurung ada sebatang kayu sebagai penyangganya. Kemudian, untuk membuat dasar susunan tempurung kelapa menjadi lebih kokoh, dibutuhkan satu batang pohon pisang bagian bawah pohon untuk dijadikan alas tempurung kelapa. Setelah keduanya telah dipersiapkan, maka diberikan sedikit bahan tambahan berupa kulit jagung kering yang diletakkan pada bagian atas tempurung yang nantinya akan dibakar. Setelah semuanya telah siap, masyarakat pun memulai acara tersebut dengan cahaya obor yang gemerlap menghiasi desa. Pada prosesnya, tradisi ini berlangsung selama 3 hari sebelum hari raya idul fitri, ada satu hal yang mereka yakini bahwa selama 3 hari tersebut, masyarakat desa Bontolempangan tidak akan melakukan aktivitas kerja/meliburkan diri dan pada 3 hari tersebut
masyarakat lebih fokus untuk beribadah pada bulan Ramadhan. Sampai sekarang, tradisi A’malang masih menjadi tradisi yang menggambarkan tentang spritualitas akan kebesaran Tuhan Yang Maha
Esa, dan tentu saja, tradisi ini masih dilaksanakan tiap tahunnya di desa
Bontolempangan.
5. Tradisi Ambelu'
Tradisi Ambelu atau masyarakat Selayar lebih mengenalnya dengan sebutan Ngara’ Pandang merupakan salah satu tradisi yang dilakukan tiap tahunnya untuk memperingati Hari Kelahiran (Maulid) Nabi
Muhammad S.A.W. Kebersamaan dan kemeriahan dari tradisi ini diikuti oleh para tulolona (remaja laki-laki dan perempuan) mengikuti peringatan Maulid. Pada prosesnya, Ambelu merupakan salah satu rangkaian pada acara peringatan Maulid Nabi yang diselenggarakan. Untuk peserta muda-mudi yang mengikuti, jumlahnya tidak menentu, namun dilihat dari jumlah peserta tiap tahunnya, para perempuan
lebih banyak ketimbang para laki-laki. Para tradisi ini, aturan tradisinya cukup sederhana, para muda-mudi akan saling duduk berhadapan dengan bahan-bahan acara tepat di depan mereka masing-masing.
Bahan atau peralatan yang mereka gunakan untuk tradisi ambelu, adalah daun pandan, Balehang (sebuah bambu yang memiliki lubang ditengah), dan sebuah pisau. Pembagian peran dalam trradisi Ambelu ini yaitu Perempuan akan bertugas memasukkan daun pandan pada Belehang tersebut dengan pisau, kemudian bagi laki-laki, perannya adalah mengiris (ngara’) daun pandan yang telah dimasukkan pada bahelang tersebut. Para laki-laki pun mulai mengiris daun pandan yang telah disediakan pihak perempuan. Setelah daun pandan diiris, bahelang diserahkan kembali ke perempuan yang berada di hadapannya, kemudian diisi kembali oleh perempuan. Tidak hanya diserahkan kembali ke perempuan yang berada di depannnya, para laki-laki juga dapat mengganti pasangannya, dengan menyerahkan kepada perempuan yang duduk jauh darinya. Untuk aturan peserta, para perempuan tidak dapat
diganti pada tradisi ini, hanya peserta laki-laki yang berselang waktu akan bergantian duduk dan mengiris pandan, hal ini bisa dilakukan jika ada peserta laki-laki yang berminat mengikuti. Pada Subtansi dan makna dari tradisi Ambelu ini lebih tepatnya mengarah pada konsep ajang pencarian jodoh bagi para muda-mudi, dimana dalam kegiatan ini, mereka berharap dapat menemukan pujaan hati, melengkapi komunikasi, fungsi sosial dan tentu saja sebagai ajang saliturahim bagi mereka.
6. Tradisi A'rera'
Salah satu dari beragam praktik budaya dan tradisi yang masih bertahan dan memiliki nilai kebersamaan pada masyarakat Selayar adalah Tradisi A’rera. Tradisi A’rera memiliki arti tentang kerjasama- bersama-sama membangun, atau gotong royong dalam bertani dan berkebun. Tradisi ini menggambarkan pemahaman masyarakat tentang kehidupan yang dimaknai sebagai kehidupan bersama sebagai makhluk sosial yang saling bergantung satu sama lain. Tentunya, nilai kearifan dalam A’rera dipercaya dapat menumbuhkan kesadaran lingkungan; menjaga keberlanjutan lingkungan alam dan pemanfaatannya; memperkuat ikatan sosial hingga memberikan efek terhadap potensi ekonomi masyarakat setempat. Dasar dan alur Tradisi Budaya A’rera pada masyarakat Selayar Rulal Agraris
mengandung nilai harmoni dalam kesejahteraan, maksud dari frasa ini adalah tidak adanya perbedaan antar kelas, tidak ada kelaparan dalam kehidupan sosial masyarakat, tidak ada keterpurukan, tidak
luasnya ketimpangan ekonomi antar individu, dan semua orang harus bersama dalam penghidupan yang layak. Kebersamaan dalam menjaga harmoni kesejahteraan ini dilakukan dengan membangun sistem kerja yang berlandaskan gotong royong antar individu dalam mengelola lahan pertanian miliknya. Para individu yang tergabung dalam A’rera akan membangun sinergitas kebersamaan dengan menerapkan satu model kerjasama pengolahan produksi pertanian-perkebunan yang mengacu pada prinsip modal sosial kebersamaan-kekeluargaan. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa perangkat aturan kerja berkenan dengan tradisi A’rera terwujud dalam praktik budaya dan teknik pemanfaatan sumber daya memang sudah menjadi Tradisi Luhur orang Selayar yang bahu membahu menolong sesama. Tradisi ini
tidak mengandung unsur keuntungan atau kepentingan tertentu, namun Tradisi A’rera ini murni sebagai kearifan lokal yang mengedepankan kepentingan bersama dalam kehidupan sosial-ekonomi masyarakat.
Tidak hanya itu, tradisi A’rera ini memberikan manfaat bagi masyarakat Selayar untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mengurangi jarak ketimpangan ekonomi masyarakat. Nilai-nilai moral yang berdasarkan prinsip kebersamaan, menajemen sumber daya, serta ekonomi dan sosial sangat kental di
dalamnya. Oleh karena itu, dalam aktivitas tradisi A’rera, nilai moral, kebersamaan, penghayatan luhur kebersamaan dan kekeluargaan. Tradisi A’rera dapat dijumpai setiap tahunnya di desa Bontolempangan, Kecamatan Buki, dimana, dalam aktivitas pertanian dan sistem kerja yang terbangun dalam pengelolaan
lahan pertanian masyarakat, A’rere menjadi salah satu cara yang masih terus dilakukan hingga saat ini.
Belum ada homestay