Proses tradisi Addinging-dinging ini
berlangsung sangat meriah setiap tahunnya
karena dihadiri bukan hanya dari
masyarakat Tenro saja namun juga dari
Masyarakat dari luar kampung yang dengan
sengaja datang dengan tujuan untuk melihat
secara langsung jalannya proses ritual
A’dinging-dinging.
Pada tradisi ini, ada beberapa tahapan
prosesi yang dilakukan dan disuguhkan
antara lain: Songkabala (rite tolak bala)
yang dilaksanakan pada tanggal 10
Muharram atau malam ke 10 dalam bulan
Muharram. Songkabala ini bertujuan sebagai
doa dan harapan masyarakat agar terhindar
dari bahaya atau musibah yang menimpa
kampung Tenro. Pada prosesi Songkabala ini
juga, masyarakat akan berkumpul dan
bersama-sama membicarakan tentang
pelaksanaan A’dinging-dinging.
Setelah mencapai kesepakatan, mulailah
pelaksanaan prosesi budaya di hari Jumat
hingga hari Senin di minggu terakhir Bulan
Muharram. Ketetapan waktu pelaksanaan
ditentukan oleh seseorang yang berperan
sebagai sakti;satti’.
Pada Hari Jumat, tepatnya di sore hari, para
pelaku Budaya akan melakukan tahapan
Anrajo-rajo. Pada tahapan ini, masyarakat
akan berziarah di makam leluhur dengan
membawa beberapa kelengkapan ritual
berupa Bunga Taju Karaeng dan Anjoro
(gogo). Prosesi ini akan dipimpin oleh satti’
yang akan membawa perlengkapan rite
Anrajo-rajo tersebut ke makam leluhur dan
menaruhnya di tempat yang telah tersedia.
Pada Prosesi ini akan berlangsung hingga
pada hari minggu, dimana tahapan
selanjutnya adalah prosesi mengambil air
dari sumur Letea (angalle je’ne ri
buhung).
Pada Tahap ini, beberapa orang akan terlibat
untuk mengambil air di sumur Letea, yaitu 7
orang perempuan, 2 orang yang pembawa
dupa, dan 1 orang Satti’. Semua yang
terlibat, akan berjalan kurang lebih 1 Km dan
dilarang untuk berbicara selama prosesi ini
berlangsung. Prosesi ini juga akan diiringi
dengan lantunan suara musik gandrang yang
dimainkan oleh beberapa orang anak.
Setelah Prosesi pengambilan air di sumur
Letea, kendi tersebut akan dibawa ke rumah
satti’ atau rumah dari tokoh masyarakat
desa untuk melakukan prosesi A’bua je’ne.
Prosesi A’bua je’ne dilakukan pada Malam
Senin, yang dipimpin oleh satti’ untuk
memberikan baca-baca atau memberi mantra
pada kendi yang berisi air. Beberapa orang
akan terlibat pada prosesi ini, diantaranya
Satti’, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan
pemerintah desa.
Perlengkapan yang disediakan pada a’bua
je’ne berupa Dupa dan Bente padi, 3 lembar
daun sirih, Kendi yang berisi air, lilin, dan
gogo. Semua yang terlibat akan duduk
bersama dalam bentuk lingkaran dan satti’
berada di tengah.
Selanjutnya, setelah satti merasa sudah
selesai pada prosesi ini, para pelaku yang
terlibat akan melakukan prosesi aminro, atau
berkeliling di tempat dilaksanakannya a’bua
je’ne.
Ke-esokan harinya, tepatnya hari Senin,
dilaksanakanlah inti dari tradisi A’dingingdinging yaitu tahapan anrio-rio. Pada prosesi
ini, masyarakat tenro bersuka ria,
bermandikan air yang telah diberi mantra
tersebut.
Tradisi Addinging-dinging bagi masyarakat
Kampung Tenro, Desa Bontolempangan
menjadi suatu kewajiban tradisional yang
memberi jaminan psikologis dan rasa aman
bagi ketersediaan sumber air, maupun dalam
rangka membangun kehidupan dalam
bermasyarakart. Hal ini menggambarkan
bahwa Masyarakat Tenro secara kultural,
mampu mengatasi keterbatasan air bersih dan
beradaptasi dengan sumber daya lingkungan
yang ada.