Revolusi Angkringan
1930
Pada saat ini Indonesia belum merdeka,
keadaan ekonomi desa Ngerangan pada masa
penjajahan sangatlah memprihatinkan.
Djukut seorang anak pertama dari 5
bersaudara terpaksa harus menolong
ekonomi keluarga karena ayahnya baru saja
meninggal. Hal ini yang mendorong Mbah
Karso Djukut untuk hijrah ke Solo. Beliau
pergi dengan pakaian dan perbekalan
seadanya tanpa tujuan jelas hanya bermodal
tekad berjalan kaki sampai daerah
laweyan. Sesampainya di daerah Kerten
beliau berhenti dan melihat keributan,
karena takut Mbah Karso terdiam dibawah
pohon beliau kebingungan.
1940
Saat berdiam diri dibawah pohon Mah Karso
Djukut dihampiri seseorang yang ternyata
adalah Mbah Wono. Mbah Wono bertanya
keadaan anak itu karena terlihat kasian. Mbah
Karso Djukut menceritakan keadaan
yang sejujur-jujurnya dan akhirnya Mbah Wono
mengajak Mbah Karso Djukut ke rumahya.
Mbah Karso Djukut awalnya diminta untuk
merawat kerbau dan bertani. Namun seiring
berjalannya waktu karena Mbah Karso
Djukut adalah seorang yang giat dan baik hati
maka akhirnya menjadi anak buah kesayangan
Mbah Wono. Beliau diberikan kesempatan
untuk berjualan terikan, yakni berjualan
makanan dengan memikul tumbu dengan
tambir diatasnya
1943
Setelah beberapa tahun berjualan terikan pasaran mulai
menurun, sehingga muncul ide kreatif Mbah Karso Djukut
yang berinisiatif menambah berjualan minuman dengan
ceret. 2 Ceret yang digunakan pada saat itu.
Minuman yang dibawa waktu itu adalah kopi, teh, dan
jahe. Awalnya makanan masih di tumbu di kepala dan ceret
dicangking di tangan. Namun karena kurang nyaman
muncullah ide kreatif Mbah Djukut agar proses
berjualan lebih mudah yaitu dengan membawa dagangan
di pikulan belakang dan makanan di pikulan depan.
Karena angkringan pikul ini tidak menyediakan
kursi, sehingga para pembeli harus nongkrong atau
nangkring untuk menikmati makanan dan minuman
tersebut. Sehingga jenis penjaja makanan ini disebut
Angkring atau Nangkring, dan sekarang lebih familiar
dengan kata Angkringan.
1950
Pada tahun 1950 an Mbah Karso
Djukut mulai mengajak warga
Sawit untuk ke Solo berjualan
angkringan. Awalnya mereka
masih ikut dengan Mbah Wono.
Mereka dibelikan kandang kebo
untuk beristirahat di siang hari
dan berjualan di sore hari lalu
setor ke Mbah Wono. Sejak saat
itu angkringan sudah mulai maju
di Solo.
Mbah Wiryo je salah satu
prembe (anak) buah Mbah Karso
Djukut menemukan racikan jahe
dan teh khas angkringan bayat
yang sampai saat ini masih
banyak digunakan. Mbah Wiryo
Je mempunyai peran besar
keberlangsungan angkringan
Mbah Karso Djukut, peran beliau
adalah membantu kulakan ke
pasar, memasak, sekaligus juga
berjualan angkringan.
1975
Saat itu berjualan angkringan dengan cara pikul dengan ceret di
pikulan belakang sering menyebabkan penjual terkena air panas saat
berkeliling. Hal ini menginspirasi para penjual angkringan untuk lebih kreatif,
yakni dengan membuat gerobak dorong dengan roda, dan pertama kali penjual
dengan gerobak ini berada di daerah kodim di tugu kalpataru. Orang pertama
yang mencetuskan ide tersebut adalah Mbah Medikidin. Di Solo angkringan
dikenal dengan nama HIK.
1950 -1970
Setelah angkringan menyebar di solo
akhirnya angkringan merambah kota
Yogyakarta. Sejak saat itu angkringan
menjadi dikenal secara nasional karena
dikenalkan oleh para mahasiswa yang
belajar di Jogja. Angkringan kota
Yogyakarta inilah yang disebut dengan era
angkringan generasi kedua dengan menu
yang semakin beragam, dimana generasi
pertama adalah generasi diera mbah karso
djukut dan para pedagang pendahulu di
kota Solo. Nama angkringan justru pertama
kali terkenal di Yogyakarta karena di Solo
angkringan justru terkenal dengan
nama “HIK”
1990 & 2010
Saat masa ini angkringan sudah menyebar
di seluruh Jawa Tengah seperti salatiga,
bawen, ungaran, magelang, purwodadi,
wonosobo, pati, demak, dll. Biasanya
mereka mencoba memulai usaha
dengan mengembara 2 orang terlebih
dahulu lalu setelah sukses
merantau mereka akan mengajak teman
lagi dari desa untuk
mengembangkan angkringan mereka.
Setelah tahun 1990 angkringan mulai tersebar
di Jawa Barat dan Jawa Timur. Lalu di 2010
angkringan mulai menyebar di seluruh
wilayah indonesia. Bahkan akhir-akhir ini
angkringan sudah ada di negara lain. Hal
tersebut bisa terjadi karena dibawa oleh para
mahasiswa yang kuliah di luar negeri