Gejog Lesung adalah kesenian tradisional berupa permainan instrumen musik perkusi menggunakan alat penumbuk padi tradisional (lesung dan alu/antan) yang berkembang dalam masyarakat agraris di berbagai wilayah di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), tidak terkecuali Jolosutro, Srimulyo. Gejog Lesung dimainkan oleh 4-5 orang atau lebih tergantung besar lesung yang digunakan. Secara bergantian mereka memukuli lesung dengan alu/antan pada bagian atas, samping, tengah, atau tepat pada bagian cekungan sedemikian rupa sehingga menimbulkan suara "thok thek thok thek" bersahut-sahutan yang berirama unik sekaligus indah. Seiring irama pukulan para penabuh lesung dan/atau kelompok lain akan menyanyikan lagu atau tembang Jawa sambil menari. Tembang-tembang yang dilantunkan biasanya bernuansa agraris.
Dalam Bahasa Jawa, "gejog" atau "kothekan" artinya memukul. Sementara "lesung" merujuk pada alat pertanian berupa wadah untuk menumbuk padi. Lesung terbuat dari kayu gelondong yang dipahat hingga berceruk atau berongga seperti bentuk perahu. Alu/antan adalah alat penumbuk padi berupa batang kayu panjang dengan diameter seukuran genggaman tangan orang dewasa. Permainan lesung kemudian juga disebut "gejog" atau "kothekan".
Kesenian "Gejog Lesung Yogyakarta" yang telah dikenal turun-temurun selama ratusan tahun diyakini bermula dari suatu mitos ataupun legenda yang ada di lingkungan masyarakat agraris Yogyakarta. Setidaknya ada dua cerita rakyat setempat mengenai mitos ataupun legenda yang terkait dengan permainan "gejog lesung", yakni mitos tentang raksasa jahat bernama Lembu Culung (Batara Kala) yang dihukum oleh Batara Wisnu serta legenda terjadinya Candi Sewu dan Candi Prambanan.