Sebelum terjadi perang Padri,sebagian masyarakat dari rimbo koto rantang ada yang terus ke arah Barat mencari daerah baru,setelah menyeberangi batang sianok ada yang bermukim di Taruyan dan ada pula yang terus mendaki ke Bukik Siriah,kemudian turun ke tepian sebuah sungai yang jernih,dibawah sebatang Pohon kayu yang besar,yaitu Kayu Andaleh maka dipancanglah Tambilang* sebagai tanda mereka mendirikan Taratak ,setelah ramai didatangi rombongan yang lain,lalu Andaleh menjadi sebuah Nagari bersama Panta Pauh dan Marambuang.
Ketiga Nagari itu merupakan Nagari tertua di Kecamatan Matur.
Setelah Andaleh ramai kemudian ada yang pindah kearah utara dan bermukim di Monggong (Bukit) yang disampingnya mengalir batang ruso (sungai) dan ada yang sampai ke Sungai Buluah.
Andaleh adalah nama batang pohon masuk rumpun baringin,tingginya bisa mencapai 35 m,sedangkan dia meter batangnya mencapai 1,5 m kwalitas kayunya sangat baik untuk tiang dan papan,pohon yang tua dan kayunya kering mirip dengan kayu jati.
Dimonggong itulah tanah ulayat beberapa kaum di Andaleh,Surau Lubuak,Cubadak Lilin dan Saribulan letaknya saling bersebelahan sako payung panji mereka juga banyak saling bersamaan yang membuktikan bahwa dahulu mereka berasal dari satu kaum yang mempunyai nasib sama.
Akhir tahun 1833,setelah perang Padri di Andaleh karena banyak gangguan perampokan,masyarakat yang di monggong semuanya pindah mencari saudaranya yang di Andaleh dan ada membangunan taratak baru,taratak baru itu bernama Saribulan (Sahari Bulan) dan taratak Cubadak Lilin (Nama pohon) monggong yang ditinggalkan itu bernama kampuang tingga.
Dalam Tahun 1915 ketika Pemerintahan Kolonial Belanda mendirikan Nagari Tigo Balai,Saribulan dan Cubadak Lilin dijadikan satu dengan Andaleh dalam satu kenagarian yang dinamakan Nagari Tigo Balai nan Basa.
Walinagari yang pertama adalah engku Dt.Rangkayo Sati Nan Tuo,pada waktu itu Ninik Mamak atau penghulu adat sudah mencapai jumlahnya 90 orang yang disebut dengan Ninik Mamak nan 90 Dikato.
Adat di Tigo Balai mengikuti Laras Koto Piliang yang dikembangkan oleh Datuk Ketumanggungan yang mayoritas bersuku Koto.
Nagari Tigo Balai berdampingan dengan Nagari Lawang,adatnya mengikuti Laras Bodi Caniago yang dikembangkan oleh Datuk Parpatiah nan Sabatang yang mayoritas bersuku Caniago.
Masyarakat kedua Nagari itu sejak dahulu hidup damai dan diikat melalui perkawinan,Ninik mamak dari kedua Nagari itu disebut Ninik Mamak nan 120 Dikato.
Dahulu Nagari Lawang dan Nagari Tigo Balai pernah berada dalam satu Kenagarian yang disebut Kenagarian Lawang Tigo Balai dan saat itulah dibangun Kantor Wali Nagari yang masih digunakan Pemerintahan Nagari Lawang dan Tigo Balai dalam memberikan pelayanan ke masyarakat sampai sekarang.
Padat tahun 2012 dilakukan Renovasi kantor Walinagari dan KAN Lawang Tigo Balai yang diprakarsai oleh masyarakat Perantau dan masyarakat dikampung,alhamdulillah pada tanggal 7 Desember 2013 kantor Walinagari dan KAN diresmikan oleh Bupati Agam.
Diperbatasan antara Nagari Lawang dan Nagari Tigo Balai itu pula dibangun satu pasar serikat/bersama yang disebut pasar serikat,Urang Lawang menyebut pasar Lawang sedangkan urang Tigo Balai menyebut pakan sinayan yang artinya pasar hari senin yang sampai sekarang disebut pasar Lawang Tigo Balai.
Nagari Tigo Balai memiliki 3 Lubuak, dan masing masing lubuak memiliki satu balai balai adat. maka dari sini lah nama Tigo Balai ini di ambil.
Di Nagari Tigo Balai, tepatnya di jorong Andaleh terdapat satu peninggalan semasa Perang Padri, yaitu Benteng Andaleh. Konon ceritanya di benteng andaleh ini dahulunya ada 2 buah meriam, namun sampai saat ini pihak Nagari belum bisa menemukan bukti sejarah tsb. Dari puncak benteng tsb kita juga bisa melihat ke Arah Bukittinggi dengan jelas, jika malam hari pemandangan tsb akan sangat indah.
Belum ada atraksi