Kain tenun khas Donggala, hasil kerajinan dibuat dengan alat tenun tradisional dikenal gedokan . Berdasarkan teknik pembuatan dan corak kain terdiri dari kain buya Sabe, bomba kota, kombinasi bomba dan subi, buya subi, buya bomba dan pelekat garusu dan buya cura. Dari berbagai corak, terdapat sekitar 20-an bentuk. Sebutan kain/sarung Donggala, berawal dari Donggala sebagai pusat kerajinan yang diperkirakan sudah ada sejak zaman Hindu Indonesia atau zaman sesudah Hindu Indonesia, yaitu di antara periode abad IV-XVI Sesudah Masehi atau sekitar abad XVI. Proses pembuatannya sangat sederhana dan terus berkembang, coraknya makin halus, menyusul masuknya bangsa Arab dan Cina, memperbaiki pengolahannya. Sejak lama kain tenun ini sudah sangat khas, seluruh sarung/kain sejenis, meskipun tidak dibuat di Donggala, tetap bermerek Sarung Donggala. Kain tenun Donggala atau yang dikenal secaralokal sebagai Buya Sabe, adalah kain tenun tradisional khas dari daerah Sulawesi Tengah, khususnya di wilayah Desa Towale Kecamatan Banawa Tengah Kabupaten Donggala. Pada awal perkembangannya, secarafungsional kain tenun Donggala digunakan dalam upacara adat dan upacarakeagamaan lainnya. Kain ini juga digunakan sebagai bahan untuk membuat pakaian anggotaKerajaan di Sulawesi Tengah. Sebagai atribut upacara adat dan keagamaan, kain tenun Donggala juga menunjukkan kedudukan dan strata sosial penggunanya, yang dalam tradisi etnis Kaili di wilayah Kabupaten Donggala disebut denganvati. Dalam pewarnaan, benang dicelup di air dingin selama 24 jam, lalu dicelup dalam zat pewarna. Zaman dahulu kain sutra diperuntukkan hanya untuk bahan sarung, sekarang telah dikembangkan berbagai asesoris/hiasan dan dibuat untuk kemeja, jas, tas, selendang, siga dan lainnya. Buku penting mengenai kain tersebut yaitu Kain Tenun Donggala ditulis Dra. Suwati Kartiwa dari Jakarta dan diterbitkan CV. Donggala Press kerjasama Pemerintah Daerah Sulteng, tahun 1983.
Belum ada atraksi
Belum ada homestay