Desa Wisata Manggopoh Palak Gadang
Desa Wisata Manggopoh Palak Gadang merupakan salah satu Desa yang berada di Kecamatan Ulakan Tapakis Kabupaten Padang Pariaman, telah lama dikenal sebagai kawasan pusat pengembangan agama Islam di wilayah Sumatera Barat dan sekitarnya yang masuk lewat pesisir timur Pulau Sumatera melalui daerah-daerah aliran sungai dari selat Melaka.. Saat ini Makam Syekh Burahanuddin menjadi Benda Cagar Budaya Padang Pariaman. Salah satu kegiatan yang terkenal yakni ber-Syafar (dalam Bahasa Minang disebut Basapa), berupa kunjungan ziarah ke kawasan makam Syekh Burhanuddin sebagai Ulama Besar Syatariah yang dilaksanakan setiap tahun setelah tanggal 10 Safar. Hal tersebut berkaitan dengan hari yang diyakini sebagai tanggal wafatnya Syekh Burhanuddin yaitu 10 Safar 1111 H/1691 M. Tradisi Basapa Warisan Budaya Tak Benda Kabupaten Padang Pariaman dan telah menjadi Warisan Budaya Tak Benda Indonesia pada Tahun 2020
Makam Syekh Burhanuddin ini telah ditetapkan menjadi situs cagar budaya, dan menjadi salah satu kawasan strategis di Kabupaten Padang Pariaman.
Secara umum Makam Syekh Burhanuddin berada dalam kompleks areal pemakaman penduduk. Orientasi arah hadap makam adalah Utara-Selatan. Makam berada dalam areal pemakaman seluas 60 m x 60 m dan kebanyakan peziarah datang saat bulan Safar, Sa'ban, dan bulan Syawal.
Basapa merupakan kegiatan yang tidak asing bagi masyarakat Padang Pariaman, khususnya yang berasalah dari jemaah Tarekat Syattariyah. Kegiatan tersebut dilakukan sebagai ungkapan penghormatan pada Syekh Burhanuddin atas keberhasilannya mengembangkan ajaran Islam di Minangkabau.
Selain makam, di kawasan wisata religi Syekh Burhanuddin juga terdapat satu masjid megah dengan nama Masjid Agung Syekh Burhanuddin. Begitu juga, di sekitar makam juga terdapat surau-surau kecil yang berjejeran. Surau ini diketahui milik dari beberapa kaum atau nagari yang ada di , dan bahkan di luar Padang Pariaman.
Perlu di ketahui di zaman yang sudah canggih dan bertekhnologi seperti sekarang ini, masih ada satu hal yang dipertahankan oleh masyarakat Ulakan, khususnya bagi Kaum Tarekat Syatariah (Kaum pengikut Syekh Burhanuddin) yaitu Tradisi “Maliek Bulan” (melihat bulan) ketika hendak berpuasa di bulan Ramadhan atau pun untuk menentukan 1 Syawal.T Biasanya ketika “maliek bulan”, masyarakat akan berbondong-bondong datang ke pinggir pantai untuk melihat datangnya bulan sabit sebagai pertanda masuknya 1 Ramadhan atau pun 1 Syawal. Namun, tidak juga seluruh penduduk Ulakan yang menganut tradisi ini. Sebagian ada yang berpuasa dengan tidak “maliek bulan” atau sesuai dengan ketetapan pemerintah tentang 1 Ramadhan atau pun 1 Syawal. Walaupun kebiasaan masyarakat di Ulakan dalam menentukan 1 Ramadahan atau pun 1 Syawal ini berbeda-beda, namun tidak akan menimbulkan perpecahan lantaran masyarakat saling menghormati perbedaan tersebut.
Selain Basapa pada perayaan Maulid Nabi masyarakat di daerah tersebut membuat lamang di setiap rumah. Lalu beberapa batang lamang tersebut akan dibawa ke surau dan sebagiannya lagi akan diberikan kepada sanak saudara seperti anak menantu, mertua, kerabat-kerabat lainnya guna mepererat tali silatuhrahmi. Aktivitas ini menjadi tradisi penting terkhusus bagi hubungan menantu dan mertua karena lamang menjadi isi hantaran yang diberikan menantu ke mertuanya. Tradisi malamang sangat penting untuk orang-orang Sumatera Barat, khususnya daerah-daerah pesisir seperti Padang Pariaman yang tentunya mayoritas beragama Islam.
Tradisi malamang merupakan suatu budaya yang berkembang di Minangkabau khususnya di daerah Padang Pariaman. Tradisi ini pertama kali diperkenalkan oleh Syekh Burhanuddin ketika menyebarkan ajaran agama islam. Hingga saat ini tradisi malamang masih sangat kental di daerah Pariaman apalagi ketika merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW. Malamang merupakan Warisan Budaya Tak Benda Kabupaten Padang Pariaman dan telah ditetapkan menjadi Warisan Budaya Tak Benda Indonesia pada tahun 2021
Tidak hanya tradisi yang menjadi keunikan dari Makam Syekh Burhanuddin, di pintu masuk area Makam Syekh Burhanuddin terdapat toko souvenir yang berjejer dari gerbang hingga pintu masuk Makam Syekh Burhanuddin. Souvenir yang dijual merupakan khas Padang Pariaman berupa dalamak, carano, gelang besi, gungguang, tikar pandan, kemenyan dan lain sebagainya.
Kemudian di pinggir jalan sekitar Kompleks Makam Syeikh Burhanuddin terdapat kuliner khas Padang Pariaman yaitu rakik dan sala bulek Rakik dan berbagai jenis olahan ikan lainnya khas Ulakan itu merupakan penganan favorit peziarah ataupun pengendara yang melewati jalan tersebut.
Berbagai macam rakik dan sala lauk, makanan khas Ulakan, dijual di pinggir jalan sekitar Kompleks Makam Syeikh Burhanuddin. Penganan berbahan dasar tepung dan ikan/udang/kepiting itu dijual dengan harga Rp 500 (sala lauak) hingga Rp 20.000 (rakik ikan baledang). Lapak-lapak rakik berjejer di jalan sekitar Kompleks Makam Syeikh Burhanuddin. Jumlah lapak di kedua sisi jalan pesisir barat Sumbar yang menghubungkan Kota Padang dan Kabupaten Padang Pariaman itu hampir mencapai 40 lapak.
Selain kuliner, tradisi yang masih bertahan hingga sekarang adalah Tradisi Juadah dalam sistem perkawinan di Padang Pariaman. Juadah dibuat bersama-sama oleh keluarga luas dan tetangga yang disebut dengan maharu. Proses maharu dilakukan seminggu sebelum pernikahan. Juadah di hantar sebanyak dua kali. Hantaran pertama dilakukan saat acara perkawinan berlangsung sebagai syarat untuk manjapuik marapulai dan sebagai tando baralek (tanda pesta) karena harus ada juadah. Juadah yang dibawa saat hantaran pertama adalah juadah gadang (besar) serta kampia siriah salangkoknyo. Hantaran kedua dilakukan seminggu setelah pesta yang disebut dengan manjalang duo. Juadah yang dibawa adalah juadah ketek (kecil). Saat manjalang duo ini bertujuan untuk memperkenalkan anak daro kepada seluruh sanak saudara keluarga suaminya baik dari keluarga ibunya ataupun keluarga bakonya. Juadah itu sendiri teridiri dari kumpulan dari enam jenis makanan adat yang telah di susun rapi di atas dulang. Enam jenis makanan adat itu ada kanji, wajik, aluo, jalabio, kipang, dan rambuik-rambuik. Juadah ini dibuat oleh keluarga luas pihak perempuan secara bersama-sama yang disebut dengan maharu. Makna dari juadah ini bagi keluarga perempuan adalah sebagai ikatan silahturahmi antara dua keluarga baru. Makna juadah bagi keluarga laki-laki adalah suatu kebanggaan karena dihargai oleh pihak perempuan.
Di desa wisata manggopoh palak gadang juga memiliki tradisi pertunjukkan yaitu Ulu Ambek adalah seni pertunjukan yang bersumber dari sejenis , tanpa adanya persentuhan fisik di antara dua petarung yang menampilkan konflik atau pertarungan secara estetis. Pertunjukan ini berasal dari Tandikek, pesisir barat yang saat ini meliputi wilayah . Pertunjukan Ulu Ambek ini menyerupai persilatan yang mempertunjukkan keterampilan pertarungan dengan gerakan-gerakan menyerang dan menangkis tanpa adanya kontak fisik. Gerakan dalam pertunjukan Ulu Ambek diiringi oleh irama musik vokal dampeang yang dilantunkan oleh dua orang tukang dampeang. Pertarungan dilakukan oleh dua orang dari dua komunitas petarung (perguruan silat atau ) berbeda sehingga konflik relatif sangat aktual. Dalam pertarungan tersebut dipertaruhkan harga diri masing-masing komunitas komunal (perguruan silat atau nagari) dan risiko malu secara komunal apabila satu pihak mengalami kekalahan (buluih).
Ulu Ambek dan Gandang Tasa merupakan Warisan Budaya Tak Benda Padang Pariaman yang telah menjadi Warisan Budaya Tak Benda Indonesia
Kegiatan keagamaan di kawasan ini telah membawa dampak yang cukup luas pada kawasan sekitarnya, baik berupa berkembangnya aktifitas ekonomi, dan lain sebagainya