SELAYANG PANDANG
KARANGTURI
Karangturi merupakan sebuah desa yang terletak di wilayah Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah. Karangturi menjadi bagian penting dari sejarah Lasem, baik ketika Lasem masih menjadi Kadipaten (Kadipaten Lasem) hingga saat ini Lasem menjadi sebuah kecamatan (Kecamatan Lasem, yang menjadi bagian dari Kabupaten Rembang). Lasem merupakan kota tua yang menjadi bagian sejarah dari sebuah negeri yang terkenal akan keberagamannya. Lasem telah melewati berbagai masa peradaban Indonesia sejak zaman pra sejarah, zaman klasik, zaman keislaman, zaman kolonial, masa kemerdekaan, hingga sekarang ini, Lasem mendapatkan sebuah penghargaan sebagai “Kota Pusaka”.
Menilik sejarah di masa lalu, Lasem, telah melewati berbagai masa dan berbagai peristiwa hingga meninggalkan banyak kenangan sejarah yang dapat dilihat dari berbagai peninggalan setiap masa. Mulai dari peninggalan Ras Austronesia, Dolmen, Candi-candi, Lingga, Situs-situs zaman Klasik, Situs sejarah Keislaman, Situs Sejarah Pecinan, hingga dampak sosial budaya yang hingga kini masih sangat kental dengan dengan aura Lasem yaitu berupa “Budaya Toleransi”.
Pada awal masa klasik, di wilayah Lasem (sebelum ada nama Lasem) juga pernah berdiri sebuah kerajaan besar yang Bernama “Pucangsulo”. Kerajaan Pucangsulo telah berdiri sebelum Kerajaan Lasem. Kerajaan ini berdiri sekitar abad IV sampai dengan abad V (387-471 M). Dalam suatu kisah Kerajaan Pucangsulo pernah memiliki Armada Laut yang berisikan prajurit-prajurit perempuan yang tangguh.
Lasem sendiri sudah dikenal semenjak masa pra Islam yaitu zaman kerajaan Majapahit. Sejarah Lasem dikemukakan pada Kitab Badrasanti karangan Empu Santibadra yang kemudian ditulis ulang oleh Raden Panji Kamzah dan telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Kantor Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Rembang pada tahun 2015. Lasem sempat disebut pada beberapa piagam dan naskah kuno sebagaimana disampaikan oleh beberapa ahli (yaitu Pratiwo, Handinoto dan Hermani Slamet). Piagam dan Naskah tersebut meliputi Piagam Singasari, Prasasti Waringinpitu, Naskah Negarkretagama pada abad ke 13 dan Prasasti Trowulan pada abad ke 15. Piagam tersebut menyatakan bahwa Lasem merupakan salah satu negara bagian Kerjaaan Majapahit pada masa kepemimpinan Prabu Hayamwuruk. Pemimpin Lasem pada masa itu adalah Bhre Lasem yang menjadi Dewan Pertimbangan Agung pada Kerajaan Majapahit. Bhre Lasem/Dewi Indu yang merupakan adik sepupu dari Prabu Hayamwuruk.
Lasem sejak masa Majapahit telah dikenal sebagai kota pelabuhan dan kota perdagangan namun pedagang Cina mulai memasuki Lasem diperkirakan pada masa awal Islam ini. Beberapa ahli juga memperkirakan permukiman Cina pertama yang ada di Desa Dasun juga dibangun pada masa ini. Pada zaman Mataram penataan Lasem mulai terlihat dimana konsep penataan kota ala Mataram diterapkan juga di Kota Lasem. Perbedaan utama penataan kota pada masa Mataram dan Majapahit adalah adanya penambahan elemen masjid yang terletak di sebelah barat alun-alun yaitu Masjid Jami’ Lasem. Disekitar masjid tersebut berkembang permukiman pribumi yang dinamakan kauman. Di sekitar alun-alun dibangun gedung-gedung penting selain masjid yaitu pendapa kabupaten dan pasar.
Pada masa Mataram ini, Pemerintahan Lasem pernah dipimpin oleh warga Cina yang bernama Oey Ing Kiat dengan gelar Tumenggung Widyaningrat. Pada masa pemerintahan beliau banyak berdatangan pengungsi Cina yang berasal dari Batavia sekitar tahun 1740-an. Mereka mengungsi ke Lasem karena adanya pembantaian yang dilakukan Belanda di Batavia, yang dikenal dengan “Geger Pecinan”.
Akibat peristiwa tersebut, pada tahun 1741 sekitar 1.000 orang Tionghoa Batavia lari dan mengungsi di kota-kota pesisir Jawa yang aman, salah satunya adalah Lasem. Dimana penguasa di Lasem saat itu adalah seorang dari etnis Tionghoa yaitu Oei Ing Kiat atau dikenal sebagai Tumenggung Widyaningrat yang dianggap dapat melindungi mereka.
Oei Ing Kiat atau dikenal sebagai Tumenggung Widyaningrat mengizinkan para pengungsi untuk menetap dan membangun perkampungan-perkampungan baru di tepi Sungai Kemandung Karangturi, Pereng, dan Soditan.
Dari berbagai peristiwa yang terjadi, kebencian masyarakat Lasem terhadap kongsi dagang Belanda semakin memuncak, sebagai dampaknya, warga Lasem berniat melakukan pemberontakan terhadap Belanda dan mengangkat tiga pemimpin pemberontakan, yaitu Raden Panji Margono, Raden Ngabehi Widyaningrat (Oei Ing Kiat), dan Tan Kee Wie. Raden Panji Margono menyamar sebagai seorang babah (keturunan Jawa-Tionghoa) bernama Tan Pan Ciang (Tan Pan Tjiang).
Datangnya VOC di Lasem, menimbulkan sikap kebersamaan antar etnis di Lasem semakin kuat. Baik dari pemeluk Islam, orang-orang pribumi yang masih manganut kepercayaan, pemeluk Hindu, Budha, Kristen, Katholik, Konghucu Bersatu melawan VOC. Puncak perlawanan masyarakat Lasem ditandai dengan terjadinya “Perang Kuning”. Perang Kuning ini merupakan serangkaian dari perang yang terjadi antara masyarakat Jawa-Cina dengan VOC di Jawa. Perang Kuning (Geel Oorlog) adalah serangkaian perlawanan rakyat dan sekitarnya terhadap kekuasaan (VOC) di (1741-1742) dan Lasem (1750). Konflik muncul sebagai dampak terjadinya peristiwa “Geger Pecinan” di Batavia (Jakarta) yang terjadi pada tahun 1740 yang diikuti migrasi besar-besaran Tionghoa dari Batavia ke Semarang dan Lasem. Peristiwa tersebut menimbulkan terjadinya pemberontakan yang dikenal sebagai “Perang Jawa” di Jawa Tengah dan Jawa Timur (1741-1743), sementara Perang Kuning merupakan perang yang dikobarkan oleh masyarakat Lasem secara khusus.
Peristiwa “Geger Pecinan” pada tahun 1740 tidak lepas dari jatuhnya harga gula yang merupakan salah satu produk ekspor utama ke Eropa sehingga kondisi keuangan kongsi dagang asal tersebut memburuk. Hal tersebut meresahkan penduduk miskin Tionghoa yang menjadi buruh pabrik gula, terutama Gubernur Jenderal VOC saat itu, , memperketat kebijakan untuk mendeportasi warga Tionghoa yang mencurigakan ke Ceylon (). Namun, terdapat isu yang mengatakan bahwa orang-orang yang dideportasi tidak diturunkan di Ceylon melainkan dibuang di tengah laut. Keresahan tersebut menyebabkan terjadinya pemberontakan oleh etnis China yang berujung pada terjadinya pembantaian sekitar 10.000 jiwa etnis China di Batavia (9-10 Oktober 1740). Peristiwa tersebut dikenal dengan sebutan “Tragedi Angke” dan dicatat dalam sebagai “Geger Pacinan”.
Melihat serangkaian peristiwa sejarah Lasem, sangatlah tepat jika Lasem mendapatkan sebuah kehormatan sebagai “Kota Pusaka”, mengingat Lasem merupakan sebuah kota kuno, yang menyimpan berbagai aura sejarah yang masih dapat dirasakan hingga saat ini.