Desa Wisata Kampung Budaya dan Religi Sigando terletak di Nagari Gunuang, Kelurahan Sigando, Kecamatan Padang Panjang Timur, Kota Padang Panjang, kampung kecil dengan sejumlah keasrian dan kedamaian desanya.
Menjadi tempat berserjarah dalam penyiaran agama Islam oleh tokoh ternama Buya Hamka, meninggalkan begitu banyak warisan kekayaan baik dari segi pemikiran, spiritual dan kebiasaan yang melekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Begitulah yang dirasakan Kampung Sigando, yang masih kental akan nilai-nilai keagamaan, kebersamaan, gotong royong, dan tradisi masyarakat.
Tak ada yang lebih teduh dari merdunya lantunan Ayat Suci Al-Quran yang selalu digemakan tiap pagi dan petang. Tak ada yang lebih tenang dari kehidupan masyarakat yang hangat akan kebersamaan dan tawa suka riang. Tak ada yang lebih asri, dari hijaunya tumbuhan dengan hamparan sawah yang luas membentang, yang berada di bawah kaki gunung Marapi. Tak ada yang lebih ramai dari semangat aktivitas anak-anak dengan segala potensi dan warna diri yang ia pancarkan dalam karya dan kreativitas. Tak ada yang lebih berharga dari kearifan lokal yang masih terjaga, baik tradisi, budaya, kesenian masyarakat yang diwariskan nenek moyang Minangkabau, dari generasi ke generasi. Itulah gambaran keelokan Kampung Sigando yang kini juga dinamai "Kampung Budaya dan Religi Sigando".
Kampung ini berada di dekat kaki Gunung Marapi, tepatnya di kecamatan Padang Panjang Timur, Kelurahan Sigando, dengan luas 1.40 Km2. Perjalanan menuju Kampung Budaya Religi dan Sigando akan menempuh perjalanan sejauh 1.4 Kilometer dari Pusat Kota Padang Panjang. Detik-detik menuju gerbang utama, para pengunjung akan melewati perjalanan yang kiri kanannya rindang oleh pepohonan yang mengakar kuat di dinding tebing. Disana pula di temui, Batu Anak Daro, sebuah legenda asal Sigando yang meninggalkan nilai kehidupan bermakna.
Memasuki gerbang utama Kampung Budaya Religi Sigando, pengunjung akan melihat tata letak rumah warga yang cukup padat dan cukup rapat, Masih disaksikan masyarakat yang masih berinteraksi dengan hangat satu sama lain. Akan ditemui masyarakat yang masih kerap bertanya “Darimana dan kemana”, karena begitulah kehangatan dalam menyambut setiap tamu yang datang terjadi secara alamiah.
Jangan heran, jika tumbuhan di Sigando subur dan makmur, karena dialiri sumber mata air yang dikenal dengan nama “Bulakan”. Ya, itulah kekayaan Kampung Budaya dan Religi Sigando. Mata air yang selalu mengalir menjadi sumber kehidupan, bukan hanya mengairi Sigando sekitar, tapi juga 3 daerah lainnya yaitu Kacang Kayu, Ekor Lubuk, dan Kubu Gadang. Mata air Bulakan itu, tepat berada di atas masjid tua yang sejarahnya akan terkenang sepanjang masa. Aliran mata air itu deras dan terkadang bunyinya seirama dengan Kumandang Adzan atau lantunan ayat suci Alquran tiap pagi dan petang.
Dari Masjid Tua Asasi Sigandolah kalam-kalam ilahi itu digemakan. Masjid tertua di Kota Padang Panjang, dan tertua kedua di Minangkabau. Disinilah, tokoh besar Buya Hamka pernah menetap dalam kurun waktu yang cukup lama, untuk belajar dan mensyiarkan agama Islam. Nilai-nilai keagamaan mengakar kuat sejalan dengan adat istiadat yang melekat seperti pepatah yang mengatakan “Adat Basandi Syara’, Syara’ basandi Kitabullah”. Kemudian masyarakat hidup dengan nilai agama dan adat yang ia pegang.
Jika dipandang ke arah Barat, dari jendela Masjid Asasi, maka akan kita lihat jalan menanjak tinggi. Masyarakat menamainya “Labuah Panjang”, labuah kecil yang diapit oleh jejeran rumah warga. Jalan itu menjadi saksi bisu langkah-langkah para santri yang beribadah tiap pagi dan sore hari. Benar sekali, karena di ujung pendakian jalan itu, terdapat Pondok Pesantren Thawalib Gunung Islamic Boarding School, yang umurnya bahkan sudah lebih 1 abad. Tepat pada tahun 1.921 pesantren ini didirikan oleh masyarakat. Bergotong-royong mereka membangun sekolah agama, untuk anak cucu mereka kelak.
Begitu banyak sejarah tokoh besar yang pernah berjuang menuntut ilmu, juga mensyiarkan agama di Kampung Sigando. Sampai detik darah penghabisan, sampai nafas terakhirnya ia masih setia mengabdi. Hingga makamnya pun dikenang oleh warga. Tepat di Pusaro Tano, para terdahulu dimakamkan. Sesekali masih datang anak cucu nya berkunjung dan mendoakan kebaikan.
Tak jauh dari sentral Sigando, potensi alam lainnya juga di temui di Solok Batuang yang masih dalam ruang lingkup Sigando. Salah satunya air terjun. Kita bisa sampai kesana dengan menyusuri hamparan sawah hanya dengan berjalan kaki. Tidak hanya itu, ada lagi Yuza Farm, agrowisata yang dikelola oleh masyarakat Sigando. Kita bisa menyaksikan bahkan terlibat langsung dalam proses pengolahan susu sapi.
Begitulah kira-kira sebagian kecil gambaran keaslian dan keasrian kearifan lokal Kampung Budaya dan Religi Sigando. Tentu ada banyak lagi hal menarik yang didapati. Bukan maksud penulis tidak ingin berbagi melalui informasi singkat ini. Hanya saja penulis ingin pembaca merasakan langsung kehidupan masyarakatnya dengan nyata. Kehidupan yang masih kental akan tradisi, budaya, dan religi.
Dimulai dari tahun 2018, Kampung Budaya dan Religi Sigando sudah mengelola berbagai potensi wisata yang ada, diantaranya :
Beberapa prestasi yang diperoleh oleh Desa Wisata Kampung Budaya dan Religi Sigando adalah :