Sekilas Tentang Wisata Hiang Tinggi (SEJARAH DAN SENI BUDAYA)
Tanah Hiang atau dalam bahasa Kerinci biasa disebut sebagai Riang adalah permukiman masyarakat adat Kerinci yang berada di sisi Timur Laut Danau Kerinci. Berada di kaki perbukitan yang membentang di sebelah timur Danau Kerinci. Wilayah adat ini dilalui oleh anak sungai yang disebut Sungai Batang Sangkir atau Ayir Hiang. Sungai ini mengalir dari arah tenggara ke barat laut Lembah Kerinci dan bermuara ke Sungai Batang Merao. Arah aliran sungai ini berlawanan dengan arah Sungai Batang Merao yang mengalir dari baratlaut ke tenggara. Oleh sebab itu dalam pepatah masyarakat Kerinci, sungai Batang Sangkir sering disebut sebagai Ayir Riang Bebalik Mudik.
Tanah Hiang memiliki topografi yang cukup unik, dengan keberadaan sebuah bukit kecil di tengah-tengah dataran permukiman. Bukit ini tampak terpisah dari jajaran perbukitan besar di sisi timur. Secara geologis, bukit ini lazimdisebut sebagai bukit sisa pensesaran. Bukit ini disebut sebagai Bukit Kajang Silepak, sebagian lain menyebutnya sebagai Gunung Jelatang. Ada pula yang menyebutnya sebagai Koto Jelatang karena di atasnya dipercayai sebagai tapak permukiman kuno.
Wilayah adat Tanah Hiang mulanya hanya terdiri dari beberapa dusun saja yaitu Hiang Tinggi, Betung Kuning dan Koto Baru. Ketika zaman Belanda, terbentuklah Mendapo Hiang yang wilayahnya terdiri dari wilayah adat Tanah Hiang, Tanah Ambai serta beberapa dusun yang berada di bawah kekuasaan Pemangku Berlima. Mendapo Hiang terdiri dari 11 dusun yaitu: Dusun Hiang Tinggi, Dusun Betung Kuning, Dusun Koto Baru, Dusun Pendung Hiang (Wilayah adat Tanah Hiang),Dusun Ambai, Dusun Sebukar, Dusun Semerah, Dusun Bungo Tanjung, Dusun Kayu Aro, Koto Padang dan Penduk Mudik.
Gambar 2. Dusun Hiang Tinggi |
Siapakah Penghuni Tanah Hiang Tinggi?
Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa Tanah Hiang terdiri atas tiga dusun utama yaitu Dusun Hiang Tinggi, Dusun Betung Kuning dan Dusun Koto Baru. Ke-tiga dusun ini dihuni oleh suku-suku yang disebut sebagai kelbu. Kelbu-kelbu ini kemudian membentuk persekutuan yang disebut sebagai Luhah. Luhah ini dipimpin oleh Depati bersama nenek mamak (pemimpin kelbu).Luhah di dalam wilayah adat Tanah Hiang dinamakan sesuai dengan nama Depati yang menjadi pemimpin mereka.
Dusun Hiang Tinggi
Dusun Hiang Tinggi, terdiri dari lima Luhah dan 26 Kelbu. Lima Luhah tersebut adalah:
Dua puluh enam kelbu di dalam Dusun Hiang Tinggi dikepalai oleh Ninek Mamak yang bergelar
Dusun Betung Kuning
Dusun Betung Kuning terdiri dari empat Luhah dan 17 Kelbu yang dikepalai oleh empat nenek mamak. Empat Luhah tersebut adalah:
Luhah ini terdiri dari empat Ninek Mamak yaitu:
Gambar 3. Salah satu dusun di Mendapo Hiang, potret tahun 1910-an |
Dusun Koto Baru
Dusun Koto Baru terdiri dari Lima Luhah dan 155 Kelbu (menurut Morison), dan dikepalai oleh empat ninek mamak. Lima Luhah tersebut adalah
Sedangkan nenek mamak yang berkuasa di dalam luhah ini adalah:
Asal Usul Penduduk Tanah Hiang
Mayoritas penduduk yang menghuni Tanah Hiang percaya bahwa leluhur mereka mulanya bermukim di Koto Jelatang (kawasan dusun Hiang Tinggi Sekarang) dan kemudian menyebar ke dua dusun yang lain dan pada periode selanjutnya membentuk banyak Luhah dan Kelbu. Kisah kedatagan awal mereka dimulai dari seorang lelaki yang bergelar Indar Baya. Menurut tradisi lisan --yang kemudian dibuatkan stamboomnya oleh Morison--dan Tembo yang disimpan di Kemantan, bahwa penduduk awal Koto Jelatang adalah keturunan dari Indar Baya (lelaki) yang berasal dari Pariang Padang Panjang. Indar Baya kemudian hijrah ke Kerinci dan menikah dengan penduduk tempatan bernama Ninek Sibantut (perempuan). Perkawinan ini menghasilkan anak lelaki bernama Indar Meriam yang menikahi perempuan tempatan pula bernama Sibaku. Perkawinan mereka melahirkan anak lelaki yang bernama Indar Jati. Indar Jati menikahi Ninek Semaya dan mempunyai anak lelaki bernama Indar Bersusu Tunggal. Indar Bersusu Tunggal menikahi penduduk tempatan bernama Siti Maya dan mempunyai tiga anak perempuan yaitu Dayang Indah menetap di Koto Jelatang, Dayang Ruani hijrah ke Jambi dan Dayang Rumayah berpindah ke Talang Banio Kemantan.
Gambar 4. Stamboom Nenek Moyang masyarakat Adat Hiang |
Dayang Indah menikahi laki-laki yang disebut Nenek Ilang Dilaman dan mempunyai beberapa keturunan. Keturunan mereka inilah yang kemudian menetap di Koto Jelatang yang kemudian mendirikan empat rumah panjang yakni: Larik Koto Tinggi, Larik Koto Merak (kemudian pindah ke Betung Kuning), Larik Koto Ambai (pindah ke dusun Ambai) dan Larik Koto Luar (kemudian pindah dan berkembang menjadi Koto Baru). Versi lain nama larik tersebut adalah: Larik Koto Tinggi, Larik Koto Maho (menjadi Betung Kuning), Larik Koto Ame / Anye dan Larik Koto Kemunti / Payang.
Menurut legendanya nama "Hiang" berasal dari kata "Pariang". Nama ini diberikan sewaktu Datuk Perpatih nan Sebatang berkelanan ke Kerinci mengikuti jejak Indar Baya. Sesampainya di Koto Jelatang, beliau menancapkan tongkat masegar di sana dan disambut dengan penuh gembira oleh penduduk. Sejak saat itu, beliau memberikan nama negeri "Pariang" untuk permukiman Koto Jelatang dan sekitarnya. Kata "Pariang" sering diucapkan sebagai "Riang" oleh masyarakat Kerinci. Riang memiliki arti "gembira". Sedangkan di dalam naskah Surat Piagam Jambi dari abad ke-17 disebut sebagai "Tanah Iyang".
Menurut Sunliensyar, survei arkeologi terbatas di lokasi Koto Jelatang yang dipercayai sebagai tapak permukiman awal leluhur penduduk di Tanah Hiang, menunjukkan bukti kebenaran hal tersebut. Pada lokasi ini terdapat, struktur punden yang berbentuk persegi. Punden tersebut terbentuk dari susunan batuan kali yang pipih kurang lebih tingginya sepinggang orang dewasa. Di atas punden tersebut terdapat pula susunan menhir dan ditanami pohon kamboja yang kini tampak sudah berusia tua (gambar 1). Dalam bahasa Kerinci pohon kamboja tersebut dinamakan Pohon Kemindu atau Cakomindu. Oleh masyarakat punden tersebut dipercayai sebagai petilasan dari Nenek Ilang di Laman.
Gambar 5. Sumur Tujuh atau Taman Tujuh di Koto Jelatang-Hiang Tinggi |
Selain struktur punden, terdapat pula tujuh buah lubang tanah berdiameter sekitar 1 meter lebih yang posisinya berada di sebelah timur laut punden . Tujuh lubang terletak pada lahan yang lebih tinggi dari punden dan dinamakan sebagai sumur tujuh atau taman tujuh oleh masyarakat (gambar 5).
Sunliensyar menyebutkan lubang tanah ini dalam arkeologi digolongkan sebagai fitur arkeologi. "Fungsinya masih belum diketahui sebelum ada penelitian lanjut, saat ini kita hanya bisa menduga-duga", pungkasnya. Bisa jadi tujuh lubang ini digunakan sebagai penampung air oleh penduduknya di masa lalu, karena Koto Jelatang berada di lahan yang tinggi dan agak jauh dari aliran Batang Sangkir yang ada di sebelah timur. Jumlahnya sebanyak tujuh buah mungkin memiliki makna tertentu, seperti tujuh kepala suku atau tujuh kepala keluarga yang pernah berdiam di sini. Dugaan lain mungkin memiliki fungsi sebagai tempat ritual bagi penduduknya di masa lalu, karena lubang ini justru digali di tempat yang lebih tinggi dari punden.
Selain itu, Sunliensyar juga menemukan bukti artefaktual yang tersebar di sekitar Koto Jelatang yaitu pecahan keramik Cina dan tembikar lokal yang terdapat di permukaan tanah. Tembikar lokal yang ditemukan dilokasi ini berwarna merah polos, hitam dan kecoklatan. Di antaranya juga ada yang diberi motif. "Sayangnya, hanya dari tembikar lokal sangat sulit untuk memperkirakan secara pasti kapan Koto Jelatang dihuni oleh manusia, itu perlu penelitian lanjutan", lanjut Sunliensyar.
Gambar 6. Pecahan keramik China dan tembikar lokal yang ditemukan di sekitar Koto Jelatang |
"Untunglah, di antara pecahan tembikar lokal saya menemukan lima fragmen keramik Cina. Tiga pecahan merupakan keramik putih-biru dan dua merupakan keramik celadon (kehijauan) dengan simbol huruf China (gambar 6)". Di dalam arkeologi, keramik China bisa menjadi indikator untuk menentukan pertanggalan relatif dari suatu situs.
Pecahan keramik yang ditemukan di Koto Jelatang adalah keramik swatow dan keramik celadon yang diproduksi pada masa Dinasti Ming antara abad ke-15 hingga abad ke-17 M. Hal ini menunjukkan bahwa Koto Jelatang dihuni oleh manusia pada antara abad tersebut yaitu sekitar lima ratus hingga tiga ratus tahun yang lalu.
Bukti arkeologis ini didukung pula oleh bukti sejarah berupa naskah-naskah Kuno. Setidaknya di Tanah Hiang ditemukan beberapa piagam dari Kesultanan Jambi yang berasal dari abad ke-17 dan 18 M. Naskah Piagam paling tua adalah Naskah Piagam Depati Atur Bumi dan Rajo Depati berangka tahun sekitar 1060-1069 Hijriah atau antara 1650 hingga 1659 M atau pertengahan abad ke-17 M (Sunliensyar, 2019: 61). Naskah piagam ini dikeluarkan oleh pejabat kerajaan Jambi bernama Pangeran Dipati Anom untuk dua Depati tersebut. Depati Atur Bumi diketahui pula punya kedudukan penting dalam kerapatan Selapan Helai Kain dan Tiga Helai Kain. Dua majlis kerapatan depati terbesar yang ada di Alam Kerinci.
Sementara itu, piagam termuda yang ditemukan di Tanah Hiang adalah naskah piagam milik Depati Perbo Singo dan Depati Mandaro Bumi yakni pada awal dan pertengahan abad ke-18 M. Piagam ini dikeluarkan oleh Kesultanan Jambi mengatasnamakan Sultan Kiyai Gede dan Pangeran Sukarta Negara.
Bukti-bukti tersebut semakin menguatkan bahwa Koto Jelatang telah ditempati manusia paling lama sekitar lima ratus tahun yang lalu atau lima abad yang lalu. Semoga penduduk Tanah Hiang dapat menjaga warisan budaya nenek moyang mereka saat ini.
Belum ada homestay