Suasana kehidupan mereka bertambah harmonis dan bahagia dengan lahirnya si buah hati Ungge Bomban. Mereka betul-betul menikmati kebahagiaan itu perhatian dan kasih sayang mereka kini tercurah kepada bayi laki-laki yang sehat dan bugar. Bayi yang baik dan cerdik. Itu terlihat dari sorot matanya yang bola matanya berbinar dan jernih. Memang Ungge Bomban berbeda dengan bayi kebanyakan tiap kali orang tuanya berbincang-bincang, mtanya selalu tertuju kepada kedua ayah bundanya. Sepertinya ia berusaha menangkap isi pembicaraan itu.
Hari berganti hari, minggu pun berlalu. Bulan bertukar tahun pun menjelang. Ungge Bomban tumbuh menjadi seorang pemuda beranjak dewasa yang cerdas dan tangkas. Datuk Bandaharo Kayo dan Si Omeh Munah sangat sayang dan bangga kepada putranya itu. Ungge Bomban dapat merasakan kasih sayang kedua orang tuanya itu. Namun, Ungge Bomban tidak besar kepala. Ia rajin membantu kedua orang tuanya dalam bekerja terutamadalam hal menebang hutan. Mereka ingin memebuka lahan untuk berkebun yang kelak hasilnya untuk perbekalan kehidupan mereka di masa depan.
Seiring dengan perjalanan waktu, Datuk Bandaharo Kayo beserta istrinya semakin tua juga. Hal itu sangat disadari oleh mereka maka Datuk mengutarakan kepada istrinya bahwa mereka tidak mungkin tetap tinggal di pemukiman yang mereka tempati selama ini. Apalagi pisik mereka sudah mulai melemah, semuanya itu dapat mereka rasakan bahwapisik mereka tidak lagi bisa menahan terpaan angin laut. Akhirnya Sang Datuk beserta anak-anak dan istrinya sepakat untuk pindah ke darat dan jauh dari pantai.
Datuk Bandaharo Kayo beserta keluarganya pun pindah ke daratan yang lebih tinggi. Di situ mereka anak-beranak mulai membuka hutan untuk membuat pemukiman yang baru. Begitu pemukiman itu selesai Sang Datuk memberi nama Pematang Macang Pandak kemudian Pematang Macang Pandak berubah namanya Pematang Cubodak Ampo.
Dinamakan Pematang Cubodak Ampo, di pematang itu tumbuh pohon cubodak (pohon nangka), ampo (hampa) tidak memiliki isi. Memang sampai penulis membuat tulisan ini, masih ditemukan pohon nangka yang berbuah tetapi hampa di pematang tersebut. Beliau membangun tempat yang baru itu bagimana layaknya sebuah kampung yang ada di Koto Candi. Juga disayangkan untuk pembuktiannya bangunan dimaksud tidak ditemui lagi.
Setelah dua tahun menempati Pematang Macang Pandak, Si Omeh Munah istrinya si panggil Yang Mahakuasa. Semenjak kematian istrinya, Datuk Bandaharo mulai sakit-sakitan. Wajahnya dibalut duka yang sangat mendalam dan dalam kesehariannya, beliau menjadi agak pendiam. Namun, kasih sayang yang diberikan anak-anaknya tidak begitu dapat mengobati duka yang dialaminya.
Kondisi pisik Datuk kian parah, anak-anaknya semakin khawatir dengan keadaan orang tua mereka. Segala upaya untuk merawat dan mengobati Sang Datuk sudah dilakukan oleh anak-anaknya. Namun, jika yang Mahakuasa sudah menjeput tidak satu orang pun di dunia ini dapat menahannya. Tepatnya selesai shalat Subuh Datuk Bandaharo Kayo menghadap Yang Mahakuasa, setahun setelah istrinya meninggal. Akan tetapi, di mana letak perkuburan Sang Datuk dan istrinya tidak diketahui.
Dari tahun ke tahun Ranah Tanjung Bunga penduduknya kian bertambah. Tanahnya semakin bertambah luas pula. Begitu pula halnya dengan Ungge Bomban menjadi pemuda dewasa yang matang. Sejalan dengan perkembangan penduduk dan perputaran waktu. Ungge Bomban memutuskan untuk pergi merantau ke Taluk Kuantan.
Ungge Bomban mengutarakan maksudnya itu kepada saudara-saudara wanitanya. Mereka tidak bisa menahan kehendak saudara lelaki mereka satu-satunya. Walupun mereka merasa keberatan akhirnya mereka harus merelakannya.
Keesokan harinya Ungge Bomban pun berangkat dengan perbekalan seadanya lalu meniggalkan saudaranya dan tanah kelahirannya. Namun, sangat disayangkan bahwa nama-nama saudara wanita Ungge Bomban tidak diketahui oleh penutur.
Dengan adanya peristiwa tersebut, dalam sejarah Langgam ditemukan pula semacam syair yang berbunyi, “ Ranah Tanjung Bunga Serangkai dengan Taluk Kuantan”. Dan kemudian disebut dengan Bakal Mantara artinya Jalan Raya. Bakal Mantara inilah yang disebut tanah serangkai dalam syair di atas.