Tari Kabasaran,
Tarian Ksatria Minahasa
Bermula dari tarian perang berubah menjadi tarian penyambutan tamu. Memadukan tiga tarian dalam ritual adat yang berbeda.
WAJAH mereka terlihat garang, dengan mata melotot, dan tanpa senyuman. Bersenjatakan pedang dan tombak, mereka bergerak melompat, maju-mundur, dan mengayunkan senjata dengan sigap. Terlihat seperti prajurit yang berperang menghancurkan musuh. Tak jarang aksi mereka mengejutkan orang-orang yang melihatnya sehingga berteriak: “arotei, okela” –aduh bukan main, astaga.
Itulah kabasaran, tarian tradisional masyarakat Minahasa, Sulawesi Utara. Tari kabasaran dahulu dimainkan oleh para penari laki-laki yang umumnya bekerja sebagai petani atau penjaga keamanan desa-desa di Minahasa. Jika sewaktu-waktu wilayah mereka terancam atau diserang musuh, mereka meninggalkan pekerjaan dan berubah menjadi waranei atau prajurit perang.
Menurut adat, penari kabasaran harus berasal dari keturunan sesepuh penari kabasaran. Mereka juga memiliki senjata yang diwariskan dari para leluhur. Senjata inilah yang dipakai saat menari.
Kemunculan tarian ini tak bisa dipisahkan perang berkepanjangan dan ancaman dari suku-suku lain yang berdekatan. Untuk mempertahankan diri, leluhur orang Minahasa berusaha memperkuat diri dengan merekrut orang-orang kuat dan berbadan besar yang dilatih berperang dengan menggunakan pedang (santi) dan tombak (wengko).