SEREMONI ADAT PA'O ILE - LEPAT ELE
DI DESA HELANLANGOWUYO
DALAM KERANGKA REKONSILIASI
DENGAN LELUHUR DI GUNUNG ILE BOLENG
Tak dapat dipungkiri bahwa di manapun tempat orang bermukim selalu ada berbagai macam budaya, adat - istiadat dan kearifan lokal yang tentunya memiliki keaneka ragaman baik cirinya, tatakrama maupun cara menghormatinya. Dalam pelaksanaanya sehari-hari, setiap budaya atau pun adat yang biasanya diterapkan di suatu daerah tertentu akan mungkin berbeda dengan daerah yang lainnya, seturut budaya dan adat yang tentunya merupakan warisan leluhur nenek moyangnya.
Khusus adat yang merupakan warisan leluhur nenek moyang dimaksud, disejarahkan berdasarkan tuturan yang diwariskan secara turun-temurun, dan tidak bisa dianggap sesuatu yang salah oleh pihak lain yang bukan merupakan pemilik sejarah tersebut, apalagi hal dimaksud adalah sebuah sejarah asal - usul yang sudah dianggap sebagai sesuatu yang sakral dan dihormati oleh pemilik sejarah itu.
Dalam hal kesakralan dan cara menghormati, akan berakibat sangat fatal bahkan bisa membawa malapetaka yang sangat heboh dan hebat ketika orang kemudian melanggar pantang larangnya secara sengaja atau pun dengan tahu dan mau, hingga mengakibatkan terjadi korban dan bencana alam yang merusak atau membunuh pelanggarnya.
Dalam hubungan dengan itu cara pemulihan hubungan spiritualnya hanya bisa dilakukan dengan suatu ritual adat berupa seremoni-seremoni adat yang dilakukan oleh pemangku adat sebagai juru kunci atas kepemilikan warisan asal-usul sejarah dimaksud dengan tujuan untuk memulihkan hubungan yang telah rusak atau putus.
Budaya dan adat ini dapat dipaparkan dalam bentuk pengantar berupa sinopsis atau narasi mengapa kearifan lokal ini wajib dilaksanakan sebagaimana dimiliki, diyakini dan dilakukan oleh Masyarakat Adat Adonara di Desa Lamahelan (Helanlangowuyo) Kecamatan Ile Boleng Kabupaten Flores Timur.
Rekonsiliasi dengan Leluhur Ilehen Wokaye
Kenyataan yang terjadi pada tahun ini sungguh sangat menyayat hati. Menyayat hati karena korban bencana teramat banyak. Akan tetapi yang lebih menyayat hati adalah putusnya hubungan kita dengan para Leluhur. Putus karena ulah orang-orang yang tidak bertanggungjawab merusak alam tempat keramat yang diyakini dihuni oleh Leluhur nenek moyang kita, dan yang adalah hak milik Leluhur kita. Sebut saja Telaga Waijarang yang ada di puncak Ile Boleng. Telaga yang menurut keyakinan orang Lamahelan adalah air yang sangat sakral dan dihormati. Ketika melakukan perbuatan yang merupakan larangan di telaga Waijarang, maka Leluhur nenek moyang di situ akan merasa terusik dan ketika perbuatan terlarang itu dilakukan berulang kali akan menyebabkan kesabaran menjadi amuk. Ada pun beragam senjata milik Leluhur semisal gempa bumi, erupsi, hujan badai, banjir bandang, petir, tanah longsor dan sejenisnya. Leluhur nenek moyang kita akan bebas menggunakannya untuk menyadarkan kita umat manusia akan hubungan baik dengan alam. Ketika hubungan ini telah putus, maka harus ada rekonsiliasi memulihkan hubungan persahabatan untuk kembali pada keadaan semula. Syaratnya adalah mengakui kesalahan sejujur-jujurnya, seiklas-iklasnya tanpa ada tekanan, dan sadar kalau hal ini baik untuk diperbaiki. Maka secara budaya yang bersangkutan harus datang manghadap yang empunya kerajaan adat ini, mengakui kesalahannya, dan memohon ampun atas kesalahan yang telah diperbuat, menerima sanksi adat yang telah ditetapkan sejak beribu-ribu tahun silam ketika tanah Tadon Adonara ini tercipta. Sanksi ini adalah ketetapan lama dan kita penghuni tanah ini hanya dapat melaksanakannya dengan membawa syarat berupa 12 anak ayam yang baru menetas yang dalam bahasa nenek moyang disebut sebagai Witi Beleen (Kambing Besar), 12 tuak toran (toran=bambu tempat mengisi bahan cairan semisal tuak atau air), sejenis/satu spesies sorgum (bhs.Lamaholot: dela) sebanyak 12 bungkus yang dibungkus dengan kulit jagung (kowak), daun waru (wao lolon sebagai meran yang dalam konteks ini diartikan sebagai piring), buah kelapa hijau muda (dalam bahasa Leluhur disebut sebagai : Kebua). Bahan-bahan ini dipersyaratkan jika melakukan pelanggaran selain di Waijara, jika melakukan pelanggaran di Waijara maka sanksinya adalah Ihike Selaka(selaka=besi putih) Lapiten Belaon ( lelu buraan=kapas putih ), dimana kapas putih digunakan untuk membungkus selaka.
Bahan – bahan itu adalah sarana perantara untuk melakukan rekonsiliasi dengan Leluhur Nenek Moyang kita teristimewa dengan Leluhur Ilehen Wokaye. Tidak diartikan sebagai sanksi atau denda, namun sesungguhnya adalah bahan-bahan itu harus disiapkan oleh orang yang melakukan pelanggaran, agar dengan demikian spiritnya adalah rekonsiliasi antara pelanggar dengan para Leluhur.
Seremoni Lepat Ele di Langobele
Moment ini adalah saat dimana dilakukan seremoni penjemputan orang yang melakukan pelanggaran. Namun empat malam sebelumnya Pemangku melakukan seremoni adat di lango bele yaitu Holan Padu. Ritual adat ini dilakukan sebelum seremoni di gunung. Sebelum melakukan seremoni di tempat keramat di gunung, pemangku adat di gunung Ile Boleng yang diwariskan oleh nenek moyang secara turun-temurun yakni ama Laga Ama/Kia Karabau, melakukan ritual adat Holan Padu di rumah adat Suku Langowuyo - Lamahelan sebagai doa dan permohonan kepada Leluhur Nenek Moyang. Bersama dua orang lainnya yang mendapat tugas khusus adat ini adalah ama Mangu Suban dan ama Boro Nele yang melakukan ritual adat ini di rumah adat suku Lamanele-Lewonuba-Lamahelan. Selama empat malam berturut-turut ritual adat ini dilakukan di rumah adat, namun jika memperoleh tanda aman dari nenek moyang, ritual dapat dilakukan selama dua malam saja. Waktu yang tepat sebagai waktunya nenek moyang untuk berkomunikasi melalui simbol nyala dian adalah saat magrib yang ditandai dengan ayam mulai bertengger di atas pohon (manuk gere kayo) dan ketika lampu rumah mulai dinyalakan (padu gere lango/padu nelo).
Para pelanggar membawa serta semua bahan-bahan pemulih hubungan sebagai prasyarat rekonsiliasi yang disebut Lepat Ele. Dalam arakan terdepan didahului oleh witi beleen, tuak marak diisi dalam nawin (bambu) serta neak, dela yang terbungkus dalam kulit jagung ( kowak), toran(bambu bulu), koli kebako, wua wayak, ayam dewasa. Sedangkan jika melakukan pelanggaran di Waijara maka harus dilengkapi lagi dengan ihike Selaka Lapite Belaon, wata utan, kayo wai, kopi gula. Di depan pintu, di bawah kaki eken (eken puke), semua bahan itu diletakkan, juga para pelanggar dan tetua atau yang dituakan dari pelanggar sebagai orang yang membawa koda nalan. Sudah ada di sana ama tua adat mehenen Ilehen Wokaye Hariin Lewaan (Penguasa di gunung) menunggu. Yang besangkutan melaporkan kesalahannya sembari memohon ampun atas kesalahannya pada ama Laga Ama. Selanjutnya ama Laga Ama dan mehenen yang lain membuat seremoni adat yang disebut behin bau lolon rae eken puken untuk menyampaikan pada Leluhur Ilehen Wokaye bahwa pelanggaran ini sudah diakui dan memohon Ina Ama Ilehen Wokaye menghapus kesalahan mereka, dan hubungan spirit bersama Leluhur boleh terjalin kembali.
Seremoni Tekan Manuk- Pik Kedeku
Esoknya pada pagi hari, anak ayam ( Witi Beleen) dan sisa ayam dewasa yang dibawa oleh para pelanggar kemarin dihantar ke satu kebun tempat ritual ini dimulai (starting point) sebelum mendaki ( trekking). Tempat ini disebut dengan nama Wetune Puke. Orang-orang yang hendak mengikuti acara seremoni adat di gunung, harus mengikuti ritual makan ayam. Upacara makan ayam ini disebut sebagai pemulihan tenaga untuk Pik Kedeku (konvoi adat menginjak ilalang di sepanjang perjalanan ke puncak agar mudah dilewati) menuju ke tempat sakral di gunung. Daging ayam dibakar dan tidak boleh dimasak/direbus. Setelah matang dicincang dan kemudian dicampur –adukkan dengan kelapa tua yang sudah diparut. Sebelum daging dibagikan, para pendaki diarahkan untuk duduk bersila di depan bentangan daun pisang pengganti meja dan juga pengganti piring yang dibentangkan di tanah. Daging cincangan kemudian dibagikan kepada para pendaki untuk selanjutnya dimakan. Sebelum berangkat ke gunung dilakukan seremoni di pondok adat (Oring), dan semua orang yang akan melakukan pendakian (trekking) diberikan pesanan adat oleh juru kunci gunung Ile Boleng tentang semua pantangan dan larangan yang tidak boleh dilanggar oleh semua orang yang melakukan pendakian (trekking). Karena jika dilanggar akan menimbulkan bencana alam bagi yang melanggarnya.
Setelah mendapat petunjuk dan berkat oleh Juru Kunci ama Laga Ama/Kia Karabau, para pendaki pun beranjak pergi bersama-sama dengan para pemangku tugas adat yang diembankan seturut warisan yang didapatnya. Untuk upacara adat di setiap tempat keramat yang diyakini sebagai tempat hunian leluhur (di area lereng gunung) akan dilakukan oleh pemangku adat Ilehen Wokaye hariin Lewaan.