Manusia, Alam dan Agama adalah suatu hal yang tidak terpisahkan satu sama lain.
Sebab ketiga hal itu memiliki ruang dan keterkaitan dalam meng-ekspektasikan kedekatan kepada sang pencipta sejagat raya. Begitupun dalam Festival Bebubus Batu, Dusun Batu Pandang Desa Sapit, Kabupaten Lonbok Timur.
Festival bebubus batu, tidak bisa kita kaji hanya dari salah satu sisi semata, karena akan menimbulkan kepincangan dan bahkan melahirkan subjektifitas semata. Ritual adat bebubus batu, di lakukan oleh masyarakat dusun batu pandang desa sapit, sejak 500an tahun silam.
Dalam ritual bebubus batu, di lakukan setiap dua kali dalam musim yaitu: setelah musim tanam dan pasca panen. Pada musim tanam, bentuk acara dan bentuknya di bawa ke kampu bebubus batu, untuk di sakrkalkan dan di sucikan dengan bentuk pendekatan alam menuju keridoan sang pencipta jagat raya Allah subhanawataala dengan tujuan, menjauhkan tanaman dari segala macam penyakit dan hama tanaman. Sementara ritual bebubus batu periode pasca panen diurus dengan tujuan mensyukuri nikmat allah yang telah di sampaikan kepada masyarakat melalui bercocok tanam. Dengan cara pesta rakyat, seperti membuat beberapa jenis makanan dan hiburan rakyat, maka di bawa ke kampu bebubus batu untuk dinikmati bersama sama di lokasi terbuka yaitu di tengah persawahan yang sering di sebut dengan kampu.
Ritual bebubus batu pada tanggal 30-31 januari 2018 adalah ritual pembuatan bubus tanaman, yang kemudian di sebar ke beberapa titik persawahan dengan tahapan sebagai berikut.
Pada tanggal 30 januari 2018 kegiatan masyarakat, memoersiapkan perlengkapan dan sesaji, dan beberapa jenis makanan di dalamnya adalah: pangan botok, pangan rampes dan pangan bendol. topat besar, topat daun treng, topat gegedeng, dedolet, ancak saji, pelemeng, pare dan segala jenis pisang yang ada di desa sapit. Sementara untuk malam hari, acara masai dengan iringan tabuhan gamelan.
Pada tanggal 31 januari 2018. Masyarakat khusua berkumpul untuk pembuatan bubus seperti: beras, beberapa jenis dedaunan (daun asam, daun makan, daun seroja, daun cempaka), segala macam pisang. Kelengkapan bubus itu di bungkus dan di tempatkan khusus. Selain itu, masyarakat dan pemuda melakukan hiburan; peresean, tabuhan gamelan dan begambusan khas sasak ala pemuda.
Sebelum berangakt ke kampu bubus batu, shalat bersama di jalan di mushala.
Barulah iringan muda mudi, dengan pakaian khas desa sapit (Jegek) berbarisan yang di awali dengan mangku bebubus batu paling depan, dan tidak boleh di dahului, dengan makna harus disiplin, karena ini adalah acara sakral dan menunjukkan hormat kita terhadap orang tua. Perjalanan menuju kampu selama 20 menit, dengan iringan tabuhan gamelan buat sunyi dan teduh. Menunjukan itu kerendahan hati, dan kesucian dalam mendekatkan diri pada sang pencipta.
Tepat pada jam 14:00 iringan perjalanan sampai pada teras kampu, di atas komando mangku, tokoh masyarakat dan tokoh kiyai pengaturan posisi bubus dan beberapa jenis makanan yang tersusun rapi di atas dulang kayu.