Kampung Tobati, Desa Wisata di Jayapura dengan Keunikan Hutan Perempuan.
Kampung Tobati di Distrik Jayapura Selatan merupakan salah satu desa wisata di Papua yang memiliki keunikan tersendiri. Nama Tobati diambil dari kata tab yang berarti matahari dan badic (naik atau terbit). yang mendiami kampung tersebut memiliki kepercayaan pada leluhur mereka bahwa orang-orang tua masa lalu menyatu dengan alam dan matahari dianggap sebagai Tete Manis atau Yang Maha Kuasa.
Kampung ini seringkali disebut-sebut mirip dengan Bora-Bora di Polinesia yang amat tersohor. Siapa sangka bila di Indonesia Timur juga ada tempat yang tak kalah indahnya? Kampung Tobati berada di Teluk Youtefa dan di kampung ini wisawatan dapat melakukan berbagai aktivitas, dari ekowisata bakau, mengunjungi situs prasejarah, mengunjungi beberapa objek wisata, menyaksikan aktivitas masyarakat, dan tak lupa mencicipi kuliner yang khas.
Orang Tobati, yang terdiri dari 12 suku, masih mempertahankan kampung nenek moyang mereka di kawasan Yotefa, Kota Jayapura, Papua. Meski demikian, saat ini hanya ada 48 keluarga yang mendiami rumah-rumah moyang mereka itu, sedangkan sebagian besar lainnya tinggal di wilayah daratan, antara lain di Hamadi, Entrop, dan Kotaraja (Jayapura).
Permukiman Tradisional: Tobati, Kampung Tua di Jayapura
“Tobati itu berkaitan dengan kata ‘tab’. Artinya, orang yang memercayai bahwa di dunia ini ada yang berkuasa. Nenek moyang kami, karena melihat matahari, kemudian berkeyakinan bahwa di atas ini ada yang kuasa. Orang Tobati yang sekarang tinggal di Kampung Tobati, lanjutnya, adalah keturunan ke-15. Menurut sejarahnya, nenek moyang mereka menempati lokasi perairan itu sejak tahun 1908. “Karena itu, tahun depan kami akan membuat peringatan 100 tahun Kampung Tobati di sini.
Kota Jayapura baru lahir tahun 1910, sedangkan orang Tobati sudah menguasai sebagian wilayah Jayapura sebelum kota itu lahir. “Awalnya orang Tobati tinggal di Pulau Rianuk, yang sekarang ini dimanfaatkan sebagai tempat pemakaman warga Tobati. Kemudian pindah ke tepi pantai yang saat ini menjadi Kampung Tobati. tambah Ireuw yang kini bekerja di Dinas Pariwisata Pemerintah Kota Jayapura. Kampung Tobati memang tidak banyak lagi penduduk Tobati. “Yang tinggal di sini hanya 48 kepala keluarga. Kebanyakan tinggal di daratan, antara lain di kawasan Hamadi, Entrop, Sky Line, dan Kota Raja, di Kota Jayapura,” tambahnya.
Orang Tobati, terdiri dari 12 suku, yakni suku Hamadi, Itar, Ireuw, Hai, Atar, Dawir, Mano, Hababuk, Ijama, Srem-Srem, Merauje, dan Haser. “Bagaimana dengan warga di Injros
“Konon, menurut ceritanya, di masa lalu anak dari pemimpin Tobati bertengkar. Akhirnya mereka pisah tempat tinggal sehingga kini selain ada yang tinggal di Kampung Tobati, ada juga yang tinggal di Kampung Injros. perkampungan di atas air yang ada tidak jauh dari Kampung Tobati. Injros memiliki arti tersendiri“‘In’ itu artinya tempat, sedangkan ‘jros’ artinya kedua. Injros artinya tempat kedua. Makanya, daerah itu disebut Injros. Jadi, di sinilah tempat pertama nenek moyang kami. Ireuw adalah kepala adat Tobati, sedangkan Hai adalah tokoh adat Tobati.
Perahu dayung
Di kampung Tobati, rumah penduduk pada umumnya tampak tua dan lusuh. Kayu yang menjadi dinding dan lantai di rumah Agus Hababuk sendiri beberapa di antaranya terlihat sudah mulai berlubang-lubang. Atapnya yang terbuat dari seng pun sudah berkarat di beberapa bagian. Meski demikian, masyarakat bisa dikatakan sudah memiliki kesadaran pendidikan yang baik. Anak-anak Ireuw, misalnya, empat di antaranya sudah meraih gelar sarjana. “Yang satu masih SMP dan satu lainnya masih kuliah. seraya menjelaskan bahwa 72 warga Tobati sekarang ini sudah menyandang gelar sarjana. Penduduk di kampung itu juga umumnya memiliki perahu tradisional yang terbuat dari batang pohon yang bagian tengahnya dikerok. Selain untuk mencari ikan, mereka juga menggunakan perahu itu untuk bermain atau bekerja ke wilayah daratan.
Perahu ini biasanyanya digunakan untuk mencari ikan. Ikannya sebagian saya jual dan sebagian lagi untuk makan. salah satu pemuda yang mengantarkan Kompas menyeberang pulang. Epi mengaku, dari hasil mencari ikan bisa didapat sekitar Rp 30.000-Rp 50.000 sehari. Dari Kampung Tobati menuju wilayah daratan di kawasan Pantai Hamadi, mereka mendayung perahunya lebih kurang 10 menit. Namun, perjalanan itu cukup menyenangkan karena relatif tidak ada gelombang laut. Selain itu, permukaan laut sangat jernih sehingga kami bisa menikmati berbagai keindahan yang ada di bawah air. di Kampung Tobati juga ada perahu bermotor. “Itu hasil dana (program) IDT. Kapal bermotor itu digunakan terutama untuk mengangkut anak sekolah, yang pada umumnya SD. “Mereka sekolah di sekitar sini. Untuk penggunaan perahu, mereka membayar Rp 10.000 per bulan per keluarga. Masyarakat Tobati juga sedang merancang membuat keramba ikan, baik ikan hias maupun ikan yang bisa dimakan. “Berkaitan dengan dana otonomi khusus sekarang ini, Kampung Tobati mendapat bantuan Rp 100 juta dari Kota Jayapura dan Rp 100 juta dari pemerintah provinsi. Dana yang Rp 100 juta akan kami gunakan untuk keramba ikan, sedangkan yang lainnya akan digunakan untuk kebutuhan warga di sini. Semua programnya sudah ada. program tersebut dibuat berdasarkan kebutuhan dan keinginan warga.
peran tokoh agama dan tokoh adat. Meski demikian, ia tak memungkiri bahwa sebagian adat yang selama ini dipegang teguh nenek moyang mereka sudah luntur. Misalnya soal ketertiban. Dulu, ia melanjutkan, di zaman nenek moyang, orang tidak boleh ribut semaunya sampai mengganggu tetangga. Sekarang kami akan menghidupkan aturan itu kembali. Jadi, kalau ada orang mabuk dan ribut-ribut akan didenda. Mabuk-mabukan memang sudah demikian marak di kalangan anak muda di Papua, termasuk di Tobati. Maka tak perlu heran kalau setiap ada orang yang berkunjung ke Kampung Tobati pun dimintai uang oleh anak-anak muda yang biasa berkumpul di kawasan pantai Hamadi.