Muara Sungai Progo merupakan hilir sungai terluas di Jawa, dengan bentang batas kengser dan laguna hampir 2km. Bentang ini wajar, karena Sungai Progo adalah salah satu sungai terbesar di Jawa. Mengalir dari Jawa Tengah hingga bermuara di Daerah Istimewa Yogyakarta. Tepat dimana Desa Wisata Babakan berada.
Menjadi batasan antara Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Sleman. Sungai Progo merupakan sungai terbesar di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), memiliki luas sekitar 2380 km² dan panjang 140 km. Sungai Progo berhulu di kaki Gunung Sindoro Jawa Tengah. Beberapa anak sungai yang mengalir ke Sungai Progo diantaranya Kali Krasak dan Kali Bedog berhulu di Gunung Merapi, Kali Tangsi berhulu di Gunung Sumbing.
Struktur daratan dari banyak pegunungan hulu Sungai Progo kemudian membentuk lingkungan yang kompleks. Sumber air dari Gunung Merapi membawa batu dan pasir, mata air dari Gunung Sumbing dan Sindoro bercampur dengan material sepanjang bantaran. Berpadu membentuk lapisan sungai dan delta tanah humus subur dengan kandungan mineral yang baik.
Lapisan tanah heterogen ini menjadi satu dengan air laut menjadi payau yang sangat cocok untuk habitat penghuni air. Ikan, kepiting, udang, keong-keongan, serangga air, cacing, maupun hewan kecil lainnya. Pun dengan kesuburan deltanya, menjadi tempat tumbuh ragam tanaman hasil dari biji-bijian yang terbawa arus sungai. Struktur lingkungan yang kompleks ini pada akhirnya menciptakan habitat tersendiri di , salah satunya adalah menarik singgah burung migran.
Ribuan burung bermigrasi dari kawasan subtropis seperti Rusia dan Alaska menuju daerah selatan seperti Australia dan Selandia Baru. Dalam perjalanan burung tersebut transit beberapa waktu di Muara Progo. Burung migran Muara Progo yang datang jumlahnya mencapai kurang lebih 3000 ekor, singgah di Muara Progo setiap awal Bulan September hingga Akhir Mei.
Musim dingin dan kurangnya sumber makanan menjadi faktor utama burung melakukan migrasi, sebagian burung juga berkembang biak di muara sungai. Menurut penelitian, secara keseluruhan terdapat 9 jalur migrasi burung pantai di dunia. Indonesia termasuk dalam dua jalur yaitu jalur East Asian – Australiasian Flyaway dan West Pacific Flyaway.
Dengan garis pantai lebih dari 81.000 kilometer, Indonesia menjadi tujuan utama migrasi burung pantai baik dari benua Asia maupun Australia. Kawasan burung migran Muara Progo menjadi bagian dari East Asian – Australian Flyaway. Tercatat menjadi titik persinggahan paling ramai, dan kawasan burung migran Muara Progo mempunyai ragam jenis terbanyak se Jawa Bali.
di Desa Wisata Babakan sebagai salah satu bagian Kawasan Muara Sungai Progo merupakan kawasan yang menjadi tempat persinggahan burung pantai migran serta menjadi habitat bagi burung pantai penetap.
Menurut penelitian oleh Helmy Zulfikar Ulya tentang keragaman jenis burung pantai di Muara Sungai Progo tahun 2012, menemukan 19 jenis burung pantai. Dari analisis John Howes dkk tahun 2003, dari 65 jenis burung pantai yang ditemukan di Indonesia, 44 jenis diantaranya dijumpai di Muara Progo. Hasil penelitian Aghnan Pramudihasan dan Kiryono di tahun 2020 tentang keanekaragaman jenis burung pantai di Muara Sungai Progo menemukan 26 jenis burung pantai.
Lebih lanjut, dari 12 famili atau suku burung pantai di dunia, 4 famili/suku burung pantai dapat dijumpai atau digolongkan sebagai burung penetap maupun burung migran Muara Progo.
Dari 7 jenis suku ini di dunia, satu jenisnya area sebaran di Indonesia, dan dapat dijumpai di Muara Progo. Bernama Gagang-bayam Timur (bahasa Latin = Himantopus leucocephalus) yaitu spesies burung pemakan invertebrata kecil yang memiliki habitat di rawa payau, rawa tawar, danau dangkal, tepi sungai, sawah, beting lumpur, yang kesemuanya ada di Muara Progo.
Burung Gagang-bayam Timur memiliki tubuh berukuran sangat panjang, mencapai 37 cm. Mempunyai warna hitam dan putih dengan kaki sangat panjang warna merah jambu. Kepala dan tubuh putih. Sayap, tengkuk dan leher belakangan hitam. Ciri burung muda agak berbeda, yakni kepala abu-abu, punggung kecoklatan. Warna iris merah jambu, paruh hitam, kaki merah jambu.
Burung ini biasa hidup berpasangan atau membentuk kelompok kecil. Membuat sarang dari tumpukan serasah diatas lumpur atau semak yang telah mati. Telur berwarna hijau muda kemerahan, berjumlah 3-4 butir. Musim kawin terjadi di bulan Mei sampai Agustus.
Jenis burung pantai ini ada dua di Indonesia, dan salah satunya dapat kita jumpai di Muara Sungai Progo. Berkembang biak di Asia timur, India, Mongolia, Filipina, namun mempunyai daerah migrasi di Asia Tenggara, Indonesia, hingga Australia. Burung Terik Asia (Glareola maldivarum) adalah spesies burung pemakan serangga, cacing, dan invertebrata.
Memiliki tubuh berukuran kurang lebih 23 cm, termasuk dalam golongan sedang. Bersayap panjang dengan ciri lain tenggorokan kuning dengan tepi berwarna hitam. Bagian tubuh sisi atas berwarna coklat dan berkilap hijau zaitun. Mempunyai bulu sayap primer berwarna kehitaman dengan penutup sayap coklat. Bulu penutup ekor atas berwarna putih. Bagian perut berwarna abu-abu serta bagian ekor bawah berwarna putih. Ekor hitam menggarpu, pangkal dan sisi luar putih.
Umumnya burung ini hidup berkelompok, dan dapat berbaur dengan burung perancah lain sewaktu mencari makan, namun berpisah ketika terbang. Berburu dengan cara terbang menangkap serangga di udara, kemudian beristirahat di tanah dengan berdiri tegap.
Burung migran Muara Progo terdapat 9 jenis burung dari suku Charadriidae, termasuk banyak, karena memang jenis dari suku ini di dunia ada kurang lebih 65 jenis, dan ada 16 jenis di Indonesia. Beberapa diantaranya adalah Cerek-pasir Besar (Charadrius leschenaultii), Burung Laut Jambul (Thalasseus bergii) dan Cerek Kernyut (Pluvialis fulva).
Suku Scolopacidae merupakan keluarga terbesar burung pantai. Termasuk banyak dijumpai di Muara Progo, dari 88 jenis di dunia, 24 jenis dari Scolopacidae ini masuk dalam kelompok burung migran Muara Progo. Beberapa diantaranya adalah Trinil Bedaran (Xenus cinereus), Kedidi Besar (Calidris tenuirostris)
Biru-laut Ekor-blorok (Limosa lapponica). Mereka termasuk banyak spesies yang disebut sandpipers, curlew dan snipe. Mayoritas spesies ini memakan invertebrata kecil yang diambil dari lumpur atau tanah.
Jenis sandpiper memiliki tubuh dan kaki yang panjang, serta sayap yang sempit. Sebagian besar spesies memiliki paruh yang sempit, tetapi bentuk dan panjangnya cukup bervariasi. Mempunyai ukuran kecil hingga sedang, dengan panjang 12 hingga 66 cm. Umumnya memiliki bulu yang kusam dengan warna coklat samar, abu-abu, atau coretan, meskipun beberapa memperlihatkan warna yang lebih cerah selama musim kawin tiba.
Seperti hewan dilindungi yang lain pada umumnya, terdapat beberapa kendala yang menghambat pertumbuhan populasi burung migran maupun burung penetap di Muara Progo.
Minimnya pengetahuan tentang pentingnya keberagaman spesies terutama burung menjadikan perburuan masih marak. Terutama burung, selain perburuan konsumsi, juga perburuan dengan motif iseng menjadikan burung sebagai target. Penggunaan senapan angin tanpa aturan masih sering kita jumpai bahkan ke tingkat perkampungan. Pemburu liar ini selain burung juga menargetkan hewan-hewan jenis lain seperti tupai atau bajing kelapa, kalong, dan terbanyak adalah dari keluarga burung.
Yang terparah dari kendala perkembangan burung adalah dari kerusakan ekosistem Sungai Progo. Perilaku membuang sampah sembarangan dari penduduk perkotaan dengan potensi aliran sampai Sungai Progo, membawa sampah maupun mikroplastik sampai ke muara bahkan ke laut.
Sampah dan mikroplastik ini selain membunuh secara langsung karena tertelan, juga banyak membunuh serangga atau hewan kecil sebagai makanan burung migran. Dengan berkurangnya pasokan pangan, keberadaan burung migran juga menjadi terancam.
Selanjutnya kerusakan ekosistem Sungai Progo berasal dari penambangan pasir secara besar-besaran. Dorongan kebutuhan membuat penambangan pasir sepanjang bantaran terutama di Srandakan dan Galur tidak bisa dikendalikan. Penambangan ini merusak alur suplai material pasir, dan bahkan kerusakan masif di delta sungai atau Pulo Tengah. Dengan rusaknya dataran hinggap dan area pakan, maka ruang gerak burung migran menjadi lebih sempit dan terbatas.
Perkembangan jaman dan pertumbuhan populasi manusia mendorong pembangunan infrastruktur dan hunian besar-besaran. Pembangunan ini juga di daerah zona sebaran burung migran Muara Progo maupun jalur bantaran sungai. Dari pembangunan ini mempunyai efek negatif bermacam-macam. Perluasan lahan membuat kawasan hidup burung semakin menyempit. Dorongan untuk membangun juga meningkatkan harga beli pasir sungai sebagai bahan baku. Yang terakhir adalah bahwa semakin merangseknya hunian dan infrastruktur ke zona sungai dan laut, maka residu aktifitas hidup manusia juga semakin bertambah.
Contoh besar dari pembangunan infrastruktur yang berpengaruh dengan zona burung migran Muara Progo adalah New Yogyakarta International Airport dan Jembatan Pandansimo atau Jembatan Progo IV. Letak keduanya persis berada di pesisir selatan Yogyakarta, yang otomatis mempersempit ruang gerak burung migran. Selain itu adalah suplai bahan baku material dari sepanjang Progo juga meningkat. Efek ketiga adalah nantinya semakin banyak infrastruktur pendukung, dan otomatis tingkat sebaran manusia juga menjadi lebih tinggi di kawasan sebaran burung migran Muara Progo.
Dilatar belakangi kelangsungan ekosistem Sungai Progo dan pesisir selatan Yogyakarta pada umumnya, maka kegiatan konservasi terus digalakkan baik oleh pemerintah melalui dinas, , Kepolisian, hingga pemerintah desa, maupun oleh masyarakat melalui lembaga atau komunitas.
Pelaksanaan Undang-undang No 5 Tahun 2005 dilakukan secara terpadu oleh semua lapisan masyarakat dengan pelarangan perburuan baik itu di darat dengan alat senapan, jerat dan lain-lain. Juga adanya pelarangan pencarian ikan dengan racun, stroom, serta alat-alat yang merusak lainnya.
Masyarakat terutama di Padukuhan Babakan menjadikan konservasi sebagai salah satu latar belakang dan landasan pembentukan . Kemudian bekerja menjaga kawasan terpantau bekerja sama dengan berbagai pihak termasuk Kelompok Masyarakat Pegiat Konservasi Penyu di pesisir Bantul Selatan. Perlakuan perlindungan terhadap burung migran Muara Progo juga tertuang dalam AD/ART Dewisaba.
Kegiatan-kegiatan pariwisata secara konkrit juga didasari atas konservasi, menjadi ekowisata. Kampanye kesadaran lingkungan diwujudkan melalui program-program desa wisata antara lain pemberdayaan masyarakat, atraksi batik dengan pewarna alam, pembersihan lingkungan sebagai wujud Sapta Pesona. Terbaru adalah Pasar Kenangan, konsep atraksi jual beli dengan meminimalisir produk kemasan plastik atau yang berdampak lingkungan. Kemudian di paket jelajah, ada edukasi konservasi pemantauan atau patroli burung migran Muara Progo.